• FYI

    28 Agustus 2013

    Malam Kudeta di Tengah Kota


    Malam menyergap langkah mereka. Puluhan orang bersenjata, berwajah tegang, dan nampak mabuk karena buaian angan-angan kesamarataan. Segerombolan manusia yang bosan terjepit kesengsaraan dan kebencian yang diwariskan. Tetinggal leluhur-leluhurnya, korban kehadiran kaum bermata biru, bangsa pendatang yang di negerinya sendiri dulu hampir-hampir tak punya apa-apa lagi.

    Dendam, menjadi irama degup jantung. Buah dari kebencian yang menyala-nyala pada para penggenggam kuasa, yang merampok dan mengangkut segalanya, dengan hanya menyisakan derita. Rasa tersiksa dan putus asa, terbungkus dalam dada. Menggurita hingga ke aliran di ujung pembuluh-pembuluh mereka. Kini dibawa mengendap-endap, hendak menghadap. Ke pendopo, di tengah kota! Tempat seseorang yang paling dicari sedang berada.

    Galuh sudah tiada. Orang ini telah mengubur namanya. Ciamis. Apa yang amis? Nasib rakyat yang dipimpinnya? Sudah amat jelas pahitnya. Atau amis darah bangsawan yang akan tertumpah dari tubuhnya? “Kita datang untuk menuntuk hak kita! Kekayaan tanah air ini bukan untuk dinikmati mereka yang ningrat saja, apalagi hanya disetor untuk para Walanda!” Wajah-wajah sayu, kurus dan kurang darah, mengangguk bak mayat hidup.

    Pagi yang selalu tenang, dan sejuk sekali. Suara burung, kemilau sinar mentari dan rerumputan alun-alun yang setia menanti. Empat beringin tak hirau pernah lelah berdiri. Hari demi hari. Pengulangan ironi demi ironi, hingga kisah kepiluan rakyat menjadi misteri. Tergusur oleh hingar-bingar dongeng Sang Bupati mendapat medali. Dan tutur-tinular cerita kehadiran ratusan prajurit Rawa Lakbok yang menghadang para pembenci.

    Malam kudeta mungkin tak pernah ada. Hanya bumbu pemanis kisah tentang pasukan yang tak diketahui datang serta perginya. Melindungi tempat yang memang sejatinya tak mudah untuk dikunjungi.

    Penulis: @fiksisaja

    Sejarah

    Fiksi

    Inspirasi