• FYI

    06 Februari 2017

    Kisah Raden Suraita, Asal-usul Nama Desa Buniseuri


    CIAMIS.info - Syahdan, jaman dulu kala ada seorang tokoh dari wilayah Cirebon yang memilih hengkang dari kampung halamannya karena tak ingin tunduk pada Kompeni Belanda. Ia melakukan perjalanan ke arah selatan, hingga tiba di suatu kawasan hutan lebat tak berpenghuni. Tokoh berjuluk Jakalalana (lelaki pengembara) tersebut memutuskan untuk menetap di situ.

    Ia kemudian membuka hutan tersebut dengan menggunakan ‘bedog’ (golok, bhs Sunda, red.) agar dapat mengubahnya menjadi areal pemukiman, persawahan dan pertanian. Meski hanya menggunakan alat seadanya, keinginan dan usahanya sangat kuat. Maka terwujudlah tempat yang menjadi cikal bakal Buniseuri saat ini. Sang perintis, Jakalalana, dikenal pula dengan nama ‘Bapa Bedog’, petilasannya (Makam Bapa Bedog) terdapat di daerah Cipeuteuy.

    Seakan menjadi pilihan para pejuang yang melarikan diri, di kemudian hari pada jaman yang berbeda, datanglah pula seorang tokoh lain bernama Raden Suraita ke wilayah itu.

    Menurut kisah yang dikutip oleh blog Deddy Bits, Raden Suraita adalah bangsawan dari Kerajaan Utama yang dikejar-kejar oleh pasukan Mataram. Meski tidak jelas disebutkan apa alasan hingga ia menjadi buronan, tetapi masuknya kekuasaan Mataram ke wilayah sekitar Tatar Galuh memang menurut catatan sejarah diwarnai penolakan dan nuansa kekerasan. Jika menilik namanya, Raden Suraita mengingatkan pada kisah Adipati Jayabaya dari Imbanagara yang dihukum oleh Mataram maupun Kompeni Belanda.

    Raden Suraita selamat dari kejaran pasukan Mataram. Tetapi, ketika bersembunyi ia mendengar suara yang menertawakannya, meski tak terlihat wujud pemilik suaranya. Maka sejak itulah muncul nama ‘Buniseuri’, berasal dari kata ‘buni’ (tersembunyi) dan ‘seuri’ (tertawa). Raden Suraita menamai sumber mata air tempatnya bersembunyi dengan nama ‘Cibuniseuri’. Mata air tersebut tetap ada hingga sekarang, terletak di Kampung Kidul dan digunakan sebagai pemandian umum.

    Siapa sebenarnya yang tertawa? Kisah seputar suara tawa dituturkan secara turun-temurun oleh masyarakat setempat. Konon, di Pemandian Cipeuteuy yang terletak di sebelah utara Buniseuri pada waktu tertentu kadang masih terdengar suara seperti orang tertawa hingga sekarang ini. Ada pula yang mengatakan bahwa empunya suara tertawa di tempat tersebut mengaku bernama ‘Centring Manik Mojang Mande’ atau ‘Mojang Cinde’. Pemandian Cipeuteuy bagi sebagian orang yang percaya merupakan tempat ‘ngalap berkah’ agar keinginan atau cita-citanya terkabul.

    Raden Suraita menetap di Buniseuri dan hidup dalam keadaan menderita sebagai seorang pelarian. Persemayamannya terletak di Makam Namas. Ia memiliki seorang anak bernama Raden Wargayasa (dimakamkan di sebelah barat Desa Buniseuri), yang menurunkan dua orang cucu bernama Raden Partasuta dan Raden Sutajaya. Raden Sutajaya memiliki gelar Raden Jangraga, disemayamkan di Ciongka, Desa Selacai.

    Baca: Kisah Raden Sutajaya, Asal-usul Desa Selacai

    Buniseuri dapat dikatakan merupakan tempat berkumpulnya para pendatang, terutama dari Tatar Galuh dan Cirebon, sejak awal terbentuknya tempat tersebut. Di Desa Buniseuri juga dapat ditemui beberapa situs makam lain selain Makam Embah Suraita, yakni Makam Embah Surabaya, Makam Embah Demang dan Makam Embah Narangbaya.

    Kelak dalam perkembangannya, pada sekitar tahun 1801 di tempat ini sudah terdapat dua desa, yakni Desa Urug dan Desa Buniseuri. Kedua desa itu kemudian bergabung menjadi Desa Buniseuri dengan Kepala Desa (kuwu) pertama bernama ‘Tuamurid’ yang menjabat mulai tahun 1802. Sejak saat itu, menurut catatan, hingga kini sudah 28 orang yang menjabat sebagai kepala desa di Buniseuri.

    (ditulis ulang @urang_ciamis, sumber foto: Neng Ika)

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Sejarah

    Fiksi

    Inspirasi