• FYI

    25 Desember 2016

    Ketika Kafilah 'Dudukuy Cetok' Awali Langkah



    Senin, 28 Nopember 2016. Pagi baru beranjak di pukul 06.30 WIB, tetapi keramaian sudah melanda halaman mesjid di kompleks Pondok Pesantren Miftahul Huda 2 Bayasari, Ciamis. Seorang pengurus tampak penuh semangat memberi pengarahan mengenai persiapan teknis keberangkatan kafilah ke Aksi Bela Islam III atau Aksi 212.

    Baca terlebih dahulu tulisan bagian sebelumnya:
    Lahirnya Seribu 'Dudukuy Cetok' Merah Putih

    Para santri tak kalah bersemangat. Binar-binar keikhlasan memancar dari wajah-wajah polos yang merindukan keadilan dan siap berjuang menjadi pembela-pembela agama tersebut. Topi unik yang dalam bahasa lokal disebut ‘dudukuy cetok’ merah-putih sudah mereka sandang, bahkan meski sebagian catnya belumlah kering benar. Ada pula lilitan pita merah putih, seakan hendak menegaskan penolakan atas isu ‘makar’ yang dihembus-hembuskan. Ransel berisi perlengkapan pribadi sudah terpasang di punggung, dan mereka hanya tinggal menunggu komando untuk bergerak.

    KH. Nonop Hanafi, pimpinan Ponpes Miftahul Huda 2 Bayasari, segera menutup pengajian alumni yang tergabung dalam forum ‘Hamidu’. Pagi itu pengajian dihadiri sekira 500 orang hadirin. Sementara itu, telepon genggamnya tak henti-henti berdering, sebagian besar panggilan tak sempat diangkatnya. KH. Kamaludin dari Ponpes Manhajul Ulum mengonfirmasi kesiapan rombongannya, berjumlah sekitar 300 santri, menanti di dalam rute perjalanan.

    Kyai Nonop tiba-tiba menyadari dirinya belum sempat mandi dan sarapan pagi, sementara ‘pasukan’ santri sudah siap menanti. Tak lama, datang pula rombongan mobil bak terbuka yang sudah dipesan, berjumlah sekitar 100 kendaraan, serta 10 unit lagi mobil truk yang kesemuanya dipesan dengan modal sendiri untuk mengangkut para santri ke pusat kota Ciamis. Kyai yang akrab dipanggil ‘Aang’ oleh santri dan wali santri ini pun seketika mulai merasa kalut.

    Demikianlah, selepas itu Kyai Nonop segera bergegas menyiapkan diri. Kendaraan pribadi dihidupkannya, pakaian alakadarnya disiapkan sebagai bekal di perjalanan. Ia bahkan terpaksa berlari-lari kecil demi melihat para santri sudah mulai tak sabar ingin berangkat.

    “Istaiduuu?” pekik Kyai Nonop di atas mobil komando, dijawab para santri dengan gemuruh teriak “labbaik, labbaik, labbaik!”

    “Takbiiir!” pinta Sang Kyai. Lalu, kembali gemuruh “Allahu akbar!” membahana, berkali-kali.

    Seolah suasana dan ruh Badar hadir di kompleks pesantren itu. Kalimah thoyyibah pun menjadi mabda dalam pemberangkatan laskar dudukuy cetok merah-putih menuju Jakarta. Darah dan semangat anggota kafilah bagaikan sudah berada di ubun-ubun, mendorong langkah rombongan mulai bergerak meninggalkan pondok tercinta. Ratusan mobil, ribuan santri, merayap dalam derap irama perjuangan.

    “Barade ka mana ieu rombongan seueur-seueur teuing?” (Mau ke mana ini rombongan banyak sekali?) Pertanyaan seperti itu langsung memenuhi ruang pikir masyarakat sekitar yang terlewati oleh rombongan.

    Bismillah. Kafilah mulai mengawali langkah.

    (bersambung)

    (ditulis ulang berdasarkan catatan KH. Nonop Hanafi, foto © fb Nop Hanafi)

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Sejarah

    Fiksi

    Inspirasi