• FYI

    13 April 2014

    Pasirtamiang, Kisah Lembah Para Embah

    Desa Pasirtamiang terletak lebih kurang 2 kilometer dari pusat Kecamatan Cihaurbeuti, dan 29 kilometer dari pusat Kabupaten Ciamis (lihat Daftar Alfabetikal Nama Desa di Ciamis, red.). Desa yang memiliki luas 350 hektar ini terletak di kaki Gunung Sawal, secara topografis kemiringannya 30 - 40 derajat, dan berbatasan dengan Sungai Citanduy. Jumlah penduduk di wilayah tersebut lebih dari lima ribu jiwa, tersebar di 6 dusun/RW dan 34 RT. Umumnya, warga desa bekerja di bidang pertanian, peternakan, perikanan dan perkebunan.

    Nama ‘Pasirtamiang’ berarti kurang lebih berarti bukit tempat terdapatnya bambu tamiang, sejenis bambu yang lazim digunakan sebagai bahan pembuatan suling. Lahirnya Desa Pasirtamiang tidak terlepas dari kisah kehadiran para leluhur yang membuka wilayah tersebut, yang asalnya berupa lembah subur tepi hutan, menjadi pemukiman penduduk. Kini, mereka yang disebut sebagai para perintis kawasan, dapat dijumpai makam-makamnya (biasa disebut sebagai 'makam dalem’) dan dikenal dengan sebutan ‘embah’.

    Beberapa nama yang disebut, sebagaimana tercantum dalam catatan Acep Ruhyana tentang ‘Sejarah Pasirtamiang’, adalah:
    1. Ngabui Nanggamerta, konon merupakan pendatang dari Sukapura (sekarang Tasikmalaya) yang pada sekitar abad 18 biasa mengambil hasil hutan di wilayah Pasirtamiang sekarang. Ia tertarik untuk menetap dan bercocok tanam di tempat tersebut dan menjual hasil buminya ke Sukapura. Makamnya kini dapat dijumpai di Pasirpining, selatan Pasirtamiang.
    2. Embah Dayung, adalah seorang kenalan yang berasal dari Sukapura dan mengikuti jejak Ngabui Nanggamerta dengan menetap dan merintis kampung di pinggir sungai Cijoho –dinamakan demikian karena di pinggir sungai tersebut terdapat banyak pohon Joho. Makamnya terletak di Pasir Kadongdong, timur Cijoho.
    3. Embah Loma Bangsa, seorang ahli perkakas pertanian (pandai besi), konon berasal dari Panawangan dan ikut menetap di Cigorowong, barat Pasirtamiang. Makamnya terletak di Makam Dalem, dekat balai desa Pasirtamiang.
    4. Embah Singa Ronce, seorang bekas prajurit Mataram, berasal dari Cirebon, dan memilih tidak kembali kepada Susuhunan Mataram. Ia dimakamkan berdekatan dengan Embah Loma Bangsa, di Makam Dalem. Nama Singa Ronce cukup populer karena digunakan sebagai nama klub-klub olahraga di Pasirtamiang.
    5. Adi Kasan, merupakan saudara dari Embah Loma Bangsa, memilih bermukim di Pasirlandak (bukit yang dulunya banyak dihuni landak), dan makamnya berada di pemakaman umum Bungur, tepi Citanduy.
    6. Embah Dalem Mangkubumi, dikenal sebagai salah satu tokoh pelopor pembangunan di Pasirtamiang, dimakamkan di Makam Dalem.
    Terdapatnya situs makam para ‘embah’ di Pasirtamiang, dan berbagai tempat lain di Ciamis, mengingatkan pada penggunaan kata tersebut, yang menunjuk pada budaya dan bahasa Jawa. Meski kamus Basa Sunda menerima penggunaan kata ‘embah’ tetapi masyarakat Sunda lebih terbiasa memakai kata ‘aki’ atau 'engki', sedangkan suku Jawa masih tetap memakai kata ‘Mbah’ tersebut hingga kini. Hal lain, penyebutan Adi Kasan, juga lebih cenderung mengikuti gaya bahasa Jawa, ketika ‘Hasan’ disebut ‘Kasan’. Nama Ngabui Nanggamerta mengingatkan pada sebutan ‘Raden Ngabehi’, yaitu gelar kebangsawanan keraton Jawa dalam tingkatan terendah (Wikipedia). Apakah 'Ngabui' berasal dari kata 'Ngabehi'?

    Kesahihan kisah sejarah Pasirtamiang masih memerlukan penelitian lebih lanjut, dan menyisakan banyak pertanyaan, tetapi mudah diduga bahwa percampuran budaya Sunda-Jawa di wilayah Ciamis sudah terjadi sejak dulu kala. Kabupaten Ciamis sendiri, dulu bernama Kadipaten Galuh, tercatat sebagai bagian dari Kesultanan Mataram Islam sejak tahun 1618.

    Sejarah

    Fiksi

    Inspirasi