• FYI

    12 Desember 2016

    Ada Sinto Gendeng Di Balik Longmarch Kafilah Ciamis Menuju Aksi 212


    Sabtu pagi, 26 November 2016. Beberapa orang nampak larut dalam perbincangan santai seputar kehidupan keseharian di dalam lingkungan pondok pesantren. Peserta diskusi kecil itu adalah KH. Nonop Hanafi, pimpinan Ponpes Miftahul Huda II Bayasari Ciamis, ditemani adiknya, bersama seorang kyai sepuh bernama KH. M. Syarif Hidayat. Bergabung bersama mereka, seorang tokoh muda Kota Manis, H. Didi Sukardi, sahabat KH. Nonop Hanafi yang juga mantan wakil ketua DPRD Ciamis.

    Sejatinya, pembicaraan seperti itu adalah hal rutin biasa yang selalu diliputi suasana akrab dan penuh kekeluargaan. Tapi, pagi itu perbincangan terasa menjadi lebih hangat saat mulai menyentuh permasalahan kekinian ummat. Topik utama yang langsung menyita perhatian adalah Aksi Bela Islam jilid III atau lebih dikenal sebagai Aksi 212.

    Berbagai pemberitaan tentang Aksi Bela Islam III, lengkap dengan bumbu-bumbu dan opini yang menyertainya, dinilai telah menebarkan aroma teror psikologis terhadap ummat. Munculnya kosakata 'makar', terbitnya himbauan Kapolri yang menyebabkan kesulitan dalam pengadaan moda transportasi bagi peserta aksi, dan beredarnya kabar fatwa PBNU tentang tidak sahnya sholat Jumat di lapangan, telah menyebabkan gaung Aksi 212 makin melemah dan menciut. Keadaan tersebut dirasakan membutuhkan penyikapan.

    "Saat ini, yang harus muncul adalah ide gila," ujar KH. Nonop Hanafi spontan, "untuk aksi ke Jakarta, kita jalan kaki saja!"

    Kyai Nonop teringat sosok Sinto Gendeng dalam sinetron "Wiro Sableng" yang diangkat dari novel dengan judul sama. Tokoh tersebut adalah guru Wiro Sableng, sang lakon utama yang bergelar Pendekar 212. Sinto Gendeng memiliki kesaktian tinggi tetapi berperilaku nyeleneh, bahkan ide-ide dan kelakuannya kadang jauh dari nalar 'otak normal', sehingga lebih sering disebut sebagai orang gila.

    "Apa mungkin kita sampai ke Jakarta?" semua peserta diskusi kecil cukup terperangah dan mengajukan pertanyaan yang serupa.

    "Kalau pun fisik kita tidak sampai, pesan kita sudah sampai!" jawab pencetus ide dengan mantap.

    Selepas pembicaraan pagi itulah KH. Nonop Hanafi mulai menelepon beberapa kyai untuk mengajak bertemu. Malam harinya, selepas maghrib, beberapa orang datang ke Ponpes Miftahul Huda II, dan melakukan rapat persiapan keberangkatan ke Jakarta.

    Pertemuan dimulai dengan penjelasan tentang pentingnya membangun ruh ummat di tengah-tengah berkecamuknya perang pemikiran. Selepas rehat sholat isya dan makan nasi liwet khas anak pesantren, rapat dilanjutkan dengan tema teknis keberangkatan ke aksi 212. Menyikapi laporan dari daerah-daerah, bahwa kendala utamanya pada angkutan bis, maka Kyai Nonop mengajukan dan mengajak untuk berjalan kaki saja.

    Semua peserta rapat menyatakan kesiapan. Kesepakatan tersebut diambil setelah melewati perdebatan, dengan berbagai argumen yang dikemukakan. Press release kemudian dibawakan selepas rapat oleh Ustadz Deden Badrul Kamal melalui siaran langsung di laman Facebook, menggunakan akun adik Kyai Nonop yang bernama Nenk Gidha.

    Secara luar biasa, pada pukul lima pagi keesokan harinya, press release hasil rapat sudah di-like dua puluh lima ribu orang dan dibagikan ulang oleh ribuan orang.

    Kyai Nonop -akrab dipanggil 'Aang' oleh para santri dan wali santri- bukan main kagetnya mengetahui perkembangan tersebut ketika 'iseng' membuka akun fb sembari menjalankan aktivitas hariannya, mengajar kitab 'Uqudul Juman', sebuah kitab kajian ilmu balaghoh sastra Arab paling populer.

    Hari Ahad itu pula ia dan adiknya mulai menghubungi para pimpinan ponpes se-Kabupaten Ciamis, sekaligus mendata calon peserta aksi jalan kaki ke Jakarta.

    Bersambung ke:
    Lahirnya Seribu 'Dudukuy Cetok' Merah Putih)

    (ditulis ulang berdasarkan catatan KH. Nonop Hanafi, foto © fb Nop Hanafi)

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Sejarah

    Fiksi

    Inspirasi