• FYI

    31 Januari 2017

    Kisah Dewa Banga dan Asal-usul Situ Hiyang Sadewata

    Syahdan, jaman dahulu kala ketika Kerajaan Galuh dan Kerajaan Talagamanggung masih berdiri, hiduplah seorang kesatria yang sakti mandraguna bernama Dewa Banga. Kala itu para raja dan keturunannya memang masih menggunakan gelar ‘sanghiang’ atau ‘dewa’, yang menunjukkan ketinggian kasta dari masyarakat biasa.

    Dewa Banga yang sedang menempuh perjalanan, pada suatu waktu tiba di tempat yang dirasanya cocok untuk menetap. Ia pun lalu bermukim di tempat tersebut, sebuah dataran tinggi yang masih sepi.

    Baca juga: Yuk, Sambangi Pesona Wisata Situ Hiang Sadewata!

    Setelah membuat pemukiman, Dewa Banga lalu bermaksud membuat danau sebagai tempat penampungan air. Air adalah kebutuhan hidup yang sangat penting dan harus selalu tersedia. Tetapi, tempat yang dipilihnya untuk membuat danau adalah sebuah gunung bernama Gunung Jaha dengan hutan lebat bernama Leuweung Ranjeng. Jika menggunakan tenaga biasa tentu akan membutuhkan orang yang sangat banyak dan waktu lama untuk membentuk ‘kolam besar’ yang diinginkan.


    Tak kehabisan akal, Dewa Banga membuat sebuah perkakas dari kayu. Alat semacam linggis itu dipakainya untuk mulai meratakan permukaan Gunung Jaha. Ajaib, hanya diperlukan satu hentakan, gunung itupun runtuh seketika akibat kesaktian Dewa Banga yang luar biasa. Para pengikutnya tinggal melanjutkan kerja dengan memindahkan tanah saja.

    Linggis kayu yang dipakai Dewa Banga kemudian ditancapkan olehnya ke tanah sebagai tanda (tetengger) jika suatu saat hutan tersebut menjadi tempat yang ramai. Tongkat linggis kayu tersebut berubah menjadi pohon kitiwu yang tingginya sekitar 60 cm dan tak memiliki daun.

    Sejak saat itulah Situ Hiyang terbentuk. Semua ikan yang hidup di dalamnya diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan hidup para penduduk setempat dan anak-cucu keturunannya. Meskipun demikian, ada larangan mengambil jika yang diperoleh adalah ikan mas berukuran besar.

    Lokasi pemukiman tersebut kemudian bernama Nusa Dewata (atau kemudian dikenal menjadi Sadewata) dan menjadi tempat yang ramai. Tetapi, Dewa Banga yang memiliki nama lain Dewa Minda, sebenarnya adalah keturunan Ratu Galuh, sehingga harus kembali ke Kerajaan Galuh bersama istrinya, Putri Purbasari. Sang Putri sempat berkelana di hutan terlebih dulu sebelum akhirnya berjumpa dengan Dewa Banga.

    Maka pulanglah Dewa Banga bersama Putri Purbasari ke Kerajaan Galuh untuk memimpin negara sebagai raja dan ratu. Adapun rakyat yang tetap tinggal di Nusa Dewata dipimpin oleh Raden Rangga Wisesa, yang di kemudian hari nama petilasannya disebut Pangalikan. Nusa Dewata bahkan dijadikan sebuah kabupaten yang dipimpin oleh seorang ‘dalem’ yang menerima titah dari Ratu Galuh.

    Tetapi kondisi Nusa Dewata tidaklah seramai sebelumnya. Rakyat yang berasal dari ‘kahiyangan’, tempat para dewa, kembali ke asalnya. Sebagian penduduk memilih pindah ke kampung Dukuh dan Lemburgunung yang lebih tinggi letaknya.

    Keadaan Nusa Dewata yang menjadi sepi tersebut diistilahkan ‘narikolot’ dalam Bahasa Sunda. Istilah tersebut menjadi nama salah satu kampung, Tarikolot, yang kini terletak di dekat Situ Hiyang. Tempat bertapa Dewa Minda atau Dewa Banga disebut dengan Panglalanangan, sementara tempat bersemedi Purbasari disebut Pangwadonan.

    (Ditulis ulang dari kisah asal-usul Situ Hiang Sadewata yang ditulis oleh Wiraguna di Koran Kudjang Taun ka XXI no. 1017 tertanggal 24/11/1976 sebagaimana tercantum di blog Kumeok Memeh Dipacok.)

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Sejarah

    Fiksi

    Inspirasi