• FYI

    18 Januari 2014

    Menanti Mobdin Kembali


    Suasana pagi yang cerah tak mengurangi kegundahan hati Sarmid. Mahasiswa yang sudah menginjak tahun ketiga kuliahnya itu tampak asyik menggerak-gerakkan jarinya, membaca berita pada tablet buatan Korea-nya. Bah Jahrowi yang duduk di sampingnya mengernyitkan wajah.

    “Kenapa kamu téh, Mid?” tanyanya sebelum menyeruput kopi hitamnya. Asap dari cangkir berkepul-kepul menerpa wajahnya yang tetap gagah di usia senja. Sejurus kemudian, tangannya dengan lincah bergerak mencomot bala-bala, memasukkan ke dalam mulutnya yang sudah menganga. Mendadak ia berubah muka, dengan mata setengah terbelalak.

    “Aaaah, hanyaaasss!”

    “Sabar atuh, Bah, pan kata saya juga masih panas! Jiiih, aingah …,” seru Bi Encar yang sedang sibuk pakepuk di dekat hawu di bagian belakang warung sederhananya, sambil menahan tawa.

    Sarmid seolah tak tertarik dengan insiden yang memang sering terjadi di pagi hari itu.

    “Bingung baca ini, Bah!” katanya sembari menyodorkan tabletnya, yang segera ditolak isyarat tangan Bah Jahrowi.

    Moal kabaca, Jang!”

    Sarmid seolah baru tersadar, penglihatan Bah Jahrowi memang sudah berkurang sejak lama. Orang tua itu sudah tak sanggup membaca tulisan yang berukuran kecil tanpa bantuan kaca mata.

    “Menurut harapanrakyat.com, Bah,” Sarmid akhirnya membacakan berita dari tabletnya tersebut, “sampai tanggal 16 Januari 2014 kemarin, baru satu dari 15 mantan pejabat di Kabupaten Ciamis yang mengembalikan mobdinnya. Sampai-sampai disebut di berita ini, pilihan terakhirnya harus diambil paksa! Ah, memalukan, atuh!”

    “Mobdin, Jang?”

    “Mobil dinas, Bah. Baru mantan Ketua DPRD, yang sudah mengembalikan mobdin. Yang lain mah malah ada yang belum ketahuan juntrungannya, di mana adanya. Kenapa bisa gitu ya, Bah?”

    “Yaah, mungkin masih dipakai atuh, Jang!”

    Euh, ari Abah. 'Kan yang berhak memakai mah pejabat yang masih aktif berdinas atuh. Namanya juga mobil dinas!”

    Ari Jang Sarmid, kenapa molotot ka Abah?” Bah Jahrowi menggeser duduknya, menjauh.

    Aéh, iyah, maaf Abah, héhé.”

    Bah Jahrowi terdiam. Sedikit banyak sebagai mantan hansip ia juga pernah mendengar peraturan itu.

    “Oh, kitu, nya ....” gumamnya kemudian, pelan.

    “Ya iyyaaa atuh, Bah!” Sarmid menjawab penuh semangat. Kata ‘ya iya’ diucapkannya menggunakan intonasi yang sama ketika ia merasa menang berdebat pada diskusi rutin di organisasi kemahasiswaan yang diikutinya. “Kalau tidak dikembalikan, itu téh namanya memakai sesuatu yang bukan haknya, Bah!” tandasnya.

    Riak muka Bah Jahrowi tiba-tiba memucat. Tiga bala-bala sudah habis disantapnya, kopi hitam pun tinggal ampasnya. Namun, sesuatu malah berkecamuk di dalam batinnya. Ia segera berdiri dan membayar ‘konsumsi pagi’, lalu setengah tergesa-gesa hendak meninggalkan warung.

    “Iiih, Abah mah, diajak ngobrol téh malah ngaléos. Mau ke mana, Bah?” Sarmid bengong.

    “Mau ke mana rurusuhan, Abah?” timpal Bi Encar, ikut keheranan, "Sorabinya kan belum makan?"

    “Ujug-ujug teringat, Jang Sarmid, Embi, ada sabuk kopel sama pentungan hansip, yang belum dikembalikan. Sebentar, nya, Abah mau kembalikan dulu ke Kantor Desa.”

    “Subhanalloh, Abah ….”

    Sejarah

    Fiksi

    Inspirasi