• FYI

    16 Maret 2020

    Kisah Nyata: Mencari Sahabat Abah


    Ini adalah kisah nyata tentang kebaikan dan ketulusan orang-orang Ciamis. Mereka melakukan kebaikan tanpa pamrih dan membuat aku banyak mengambil pelajaran yang sangat berharga. Rasanya sayang sekali jika tidak kubagi dan kuceritakan di sini. Baiklah, biar aku ceritakan.

    Bandung, 12 Maret 2020. Malam yang hening. Pukul 21, komplek perumahan sudah sepi. Puteraku sudah terlelap kelelahan selepas main di siang hari

    “Assalamualaikum, De, damang?” sebuah pesan masuk. Aku yang belum diserang rasa kantuk, masih anteng buka-buka sosial media, dengan senang hati menjawab pesan whatsapp itu. Seorang sahabat lama ketika kuliah di PGRA UIN menyapaku.

    “Ah, Teteh, aku rindu,” gumamku. Segera saja pesan itu kujawab.

    Setelah berbasa-basi ala khas sahabatku itu, akhirnya ia mengutarakan maksudnya.

    “Kagungan kenalan (punya kenalan) orang Bunisakti, Maparah, Panjalu?” katanya.

    Seketika, kepalaku berpikir keras. Siapa yang aku kenal? Aku memang orang Ciamis asli, tetapi tidak banyak tahu soal daerah Panjalu. Paling satu dua orang saja yang kukenal semasa SMA, itu pun sudah tidak punya nomor kontaknya. Tiba-tiba, pikiranku melayang pada kenangan 'Kemping Ceria di Puncak Puspa'. Kebetulan beberapa orang masih tersimpan kontaknya, terutama yang sama-sama terlibat dalam kepanitiaan kala itu. Muncullah nama Tomy, Tawi, dan Wildan. Tiga pemuda yang bertugas di lapangan pada saat kegiatan.

    “Aya, Teh. Ke urang cobian (ada, Teh, nanti saya coba),” hanya kalimat itu yang bisa aku sampaikan, meski keinginanku begitu dalam, berharap bisa memberikan bantuan yang maksimal untuk sahabat terbaikku semasa kuliah dulu.

    Sebut saja Tiwi. Temanku ini adalah gadis solihah yang aku kenal sejak pertama kali kuliah S1 di salah satu universitas Islam di kota Bandung. Jilbabnya selalu terjulur panjang. Sedangkan aku? Aku hanyaah anak SMA yang nyasar ke kampus bernuansa Islam. Pakaianku belum sebaik pakaiannya yang selalu syari. Namun yang lebih mengagumkan adalah ia selalu bersikap ramah, kepada siapapun. Kesalihan sosial terpancar di wajah dan tergambar dalam sikapnya.

    Ia tidak pernah memilih-milih teman. Termasuk aku yang masih urakan dan belajar mengenakan jilbab yang betul kala itu. Sedikit banyak, karena dekat dengan dialah aku jadi bisa mengenakan rok dan menggunakan gamis saat kuliah. Ah, sudahlah, soal itu tidak akan aku sampaikan terlalu banyak.

    Malam itu, sahabatku menceritakan sebuah kegalauan yang bisa dibilang luar biasa. Beberapa bulan lalu, ayahnya meninggal dunia. Namun, ada sebuah amanah dari ayahnya yang harus disampaikan kepada seseorang yang konon tinggal di Bunisakti, Maparah, Panjalu. Ia pun menyebutkan sebuah nama. Nama sahabat dekat ayahnya.

    “Tos sapertos rai raka, sareng Abah teh (dengan Abah sudah seperti adik-kakak),” ujarnya. Oh iya, biar kuberi tahu, temanku ini sekarang tinggal di Garut

    Aku pernah merasakan kehilangan. Ibu sudah meninggal. Sebagai seorang anak, salah satu bentuk bakti kepada orang tua yang sudah tiada adalah dengan memperpanjang tali silaturahmi dengan orang-orang dekat dengan mereka semasa hidupnya. Apalagi ini ada sebuah amanah yang disampaikan, maka sebuah kewajibanlah untuk segera menunaikannya. Namun, 'Sang Sahabat Ayah' tidak diyakini keberadaannya.

    Tiwi sendiri tidak pernah bertemu dengan sahabat ayahnya tersebut. Tiwi adalah anak bungsu, sedangkan persahabatan itu terjadi ketika Sang Ayah dan sahabatnya masih cukup muda. Ia mendapatkan kabar tentang amanah dari ayahnya, setelah kakaknya bercerita. Kakaknyalah yang tahu persis kisah persahabatan Sang Ayah.

    Saat malam semakin larut, kami mengakhiri percakapan. Tidak lupa, akupun berjanji akan berusaha membantu sebisanya.

    Pagi harinya, aku terlalu bersemangat. Mengirimkan beberapa pesan kepada teman-teman yang sekiranya bisa membantu. Akhirnya terhubung dengan Tawi. Sayangnya ia tidak tinggal di desa yang dimaksud. Ia berjarak 20 menit perjalanan. Sedangkan Tomy? Ah, dia telat membalas pesan. Namun, semuanya memberikan informasi yang cukup melegakan. Mereka berjanji akan membantu. Dari Tawi, aku mendapatkan kabar bahwa Pak Haji yang dicari masih ada.

    “Saur rencangan abi, si Pa Hajina masih aya, Teh (kata teman saya, Pak Hajinya masih ada),” ujarnya.

    Hal itu cukup membuat lega. Singkat cerita, sambil menunggu kabar selanjutnya dari para pemuda, akupun berselancar di Instagram. Sempat berniat membuat pengumuman dan meminta tolong akun @ciamis.info. Namun, ah, itu rasanya terlalu terbuka.

    Tiba-tiba, aku teringat pada sorang perempuan baik hati yang kutemui di 'Kemping Ceria Puncak Puspa'. Teh Ida namanya. Meskipun saat kegiatan itu kami tidak bicara banyak, tetapi surabi oncom lezat buatannya membuat aku merasa wajib mengingatnya. Akhirnya, kami sering berkomunikasi walaupun di media sosial dan ... aku lebih mengenal wajahnya justru dari foto-foto di media sosial. Hapunten nya, Teh, malam itu kirang jelas. He he.

    Disapa di Instagram, Teh Ida merespon dengan baik. Mengaku memiliki teman dan saudara di Desa Maparah. Kami pun WA-an bertukar informasi tentang pencarian orang. Atas kebaikan hati Teh Ida dan temannya, Abah Aman, akhirnya kami memiliki informasi valid soal keberadaan Pak Haji yang dimaksud. Namun, beliau ternyata sudah tidak tinggal di Bunisakti.

    Untuk memastikan apakah orang tersebut adalah orang yang dimaksud, maka Teh Ida menyarankan untuk bertukar foto. Foto Abah-nya Tiwi dikirimkan via pesan WA-ku. Teh Ida juga mengirimkan foto Pak Haji. Akhirnya, aku meminta izin untuk menyambungkan nomor telepon Tiwi dengan Teh Ida, biar semua lebih jelas. Keduanya menyepakati untuk saling berkomunikasi langsung.

    Teh Ida, dengan rela mengunjungi rumah Pak Haji yang berjarak 8 km dari rumahnya. Konon, tempat yang dimaksud berada jauh dari tempat Teh Ida tinggal.

    “Rada ngalangkungan leuweung (agak melewati hutan), Neng,” ujarnya, “tapi ke ku Teteh dijugjug (tapi nanti saya datangi).

    Aku sangat terkesan kepadanya. Dengan ketulusannya, ia rela diganggu WA-an sepanjang hari demi informasi.

    “Mudah-mudahan urang kenging ganjaran tina ngabantosan nyambungkeun (semoga kita semua mendapat ganjaran dari membantu menyambungkan) tali silaturahmi,” begitulah harapannya, membuat aku semakin terkesan kepada Teh Ida.


    Dua hari berlalu. Aku tidak lagi sibuk membaca dan membalas WA tentang pencarian orang. Namun baru saja, Tiwi mengirimiku beberapa poto. Foto-foto penuh kehangatan dan rasa haru. Mereka sudah berkumpul, sudah betemu. Tampak Teh Ida tersenyum di foto itu. Terlihat pula Tiwi dan suaminya, serta keluarga Pak Haji.

    “Hatur nuhun pisan, De…, asa ngimpen. Abdi asa tepang sareng Abah. Hatur nuhun bantosanna. (Terima kasih, serasa mimpi, bisa berjumpa dengan Abah. Terima kasih bantuannya.),” ungkapnya. Tak henti-hentinya Tiwi menyampaikan terima kasih dan rasa syukur atas selesainya sebuah amanah dan tersambungnya kembali silaturahmi.

    “Masya Allah, dahsyat, De. Qodarullah, kenapa harus lewat Ade dan kenapa harus lewat Teh Ida,” ujarnya lagi.

    Tidak terasa mataku pun ikut berkaca-kaca. Ada kebahagiaan yang juga terasa di sini, di dalam dada. Hatur nuhun Teh Ida, hatur nuhun orang Panjalu, hatur nuhun atas kebaikan kalian yang begitu menginspirasi.

    Dan untukmu, Tiwi. Aku ikut bahagia. Amanah Abah sudah tertunaikan oleh anak bungsunya. Selamat.

    (Dituturkan oleh: Diantika I.E., M.Pd., penulis, trainner dan motivator. Asli Panawangan, kini berdomilisi di Bandung, Ketua Komunitas Penulis Kreatif Indonesia.)

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Sejarah

    Fiksi

    Inspirasi