• FYI

    21 Maret 2021

    Menanti Melati Kembali di Sukamantri


    Kabut pekat menyambutnya, saat mobil yang dikemudikannya sampai di kawasan hutan Jahim Sukamantri, tujuannya. Hari masih pagi dan belum banyak kendaraan yang lalu-lalang melewati jalur perlintasan antara Ciamis dan Majalengka tersebut. Di kejauhan, sorot cahaya lampu dari satu dua motor yang sedang melaju perlahan menembus kabut, menciptakan nuansa eksotis dan keindahan yang sedikit magis.

    Mobil diparkirkannya di dekat belokan penuh kenangan yang sudah lama tak dikunjunginya. Ia masih sangat hafal detail sekitar lokasi perhentian ini, dari mulai alur jalannya, belokannya, tanjakannya, kedai kopinya, sampai ke letak pohon-pohon besar yang berjejer di kiri-kanannya. Semua itu seolah terekam sebagai memori fotografik yang lekat di dalam kepalanya.

    Sejak dulu, ia sering menyengajakan diri mencari kabut ke hutan pinus Jahim Sukamantri ini, menunggangi motor tua bapaknya yang kadang mogok di tengah perjalanan. Saat sudah menjadi mahasiswa pun, setiap sedang pulang dari Bandung, ia pasti menyempatkan diri main ke hutan ini, biasanya pagi-pagi sekali. Dulu, di sini, pernah dikatakannya pada Melati, mencari kabut adalah salah satu ‘me time’ favoritnya sejak SMA. Baginya, kabut selalu memberi ketenangan.

    Kedai kopi langganannya ternyata masih ada, bertahan, dan tetap bersahaja dalam penampilan. Meski terlihat sepi, kelun asap dari bagian belakang bangunan menandakan adanya denyut kehidupan. Rasa haru menyergap batinnya, melihat wajah kedai yang nyaris tak berubah dibanding dulu. Nasibnya dan nasib kedai itu rupanya tak jauh berbeda. Hembusan napas panjang dikeluarkannya perlahan-lahan, sambil meresapi rasa bahagia dan nelangsa yang tiba-tiba muncul bersamaan.

    “Sudah sampai kita, Mel. Turun, yuk! Sebentar, ya, aku siapkan,” katanya lembut, sambil melirik perempuan cantik tapi kuyu yang termangu di sampingnya. Sosok bermata sayu itu hanya diam, masih tetap menyandarkan kepalanya ke kaca samping, sambil memeluk tasnya erat-erat. Sejak berangkat dari Panjalu, Melati tak juga buka suara. Diamnya perempuan itu membuatnya agak kuatir.

    Ia mengajak Melati mengambil tempat di bagian samping kedai, terpisah dari kumpulan meja dan kursi lain. Di situ, mereka berdua bisa duduk-duduk santai dan leluasa, sambil melihat rimbunnya pepohonan yang masih juga berselimut kabut, dan sesekali memperhatikan kendaraan yang lewat. Penjaga kedai segera menyiapkan kopi hitam dan teh tawar panas yang dipesannya, beserta kudapan berupa singkong rebus yang sebentar lagi matang.

    “Dingin kan, Mel, di sini?”

    Lagi-lagi, tak ada jawaban. Sesaat setelah keluar dari mobil tadi, hawa dingin langsung menyergapnya, membuatnya menyesal tak membawakan Melati jaket yang lebih tebal. Pasti dia juga kedinginan, pikirnya. Napas dari lubang hidung keluar seperti hembusan uap, mengepul-ngepul ke udara. Sementara itu, harum getah Pinus mercusii menyelusup ke rongga dada, terasa halus, lembut, dan menyegarkan. Wangi itu segera mengembalikan memorinya pada kebahagiaan yang pernah direngkuhnya di bawah pohon-pohon tinggi itu bertahun-tahun sebelumnya. Bersama Melati, tentu saja.

    “Masih ingat ‘kan, Mel, dulu kita pernah berkunjung ke situs Gunung Madati, di dekat sini. Iya, yang banyak batu-batu panjangnya itu. Menurut penjaganya, batu-batu itu mungkin sisa bangunan zaman dulu, sakral dan penuh makna. Rupanya, orang-orang dulu kalau datang ke sini memang ingin mendekat ke Sang Penguasa Semesta. Mungkin sama seperti kita, mencari ketenangan.”

    Dan kenangan, lanjutnya dalam hati.

    Sudah cukup banyak ia bicara, tapi Melati masih tetap bungkam juga, tak bersuara meski hanya sepatah kata. Sesekali matanya hanya merespon kalau ada nyanyian burung-burung di pepohonan, atau saat kendaraan yang lewat saja. Selebihnya, sepasang mata dengan bulu mata yang lentik itu terlihat kosong.

    Ia tak mau menyerah, dirogohnya sebuah buku berwarna merah muda dari dalam tasnya.

    “Ini, Mel. Aku masih menyimpan buku harianmu yang kamu hadiahkan dulu. Ini catatanmu tentang jalan-jalan kita di Sukamantri. Coba lihat halaman ini, deh.”

    Diary yang disodorkannya menarik perhatian perempuan muda yang seolah tak punya gairah hidup lagi itu. Matanya sayunya tiba-tiba berbinar-binar saat melihat gambar yang ada di halaman yang ditunjukkan.

    “Hihi, ini… ini lucu. Apa ini?”

    Ia tersentak. Suara Melati, yang merdu itu, sudah ditunggunya sejak berangkat dari Jakarta. Tante Mira, mamanya Melati, melepasnya dengan penuh harap tetapi juga khawatir putrinya hanya akan merepotkan. Tidak apa-apa, saya akan berusaha yang terbaik, Tante, demi Mel, ucapnya meyakinkan, saat berpamitan.

    “Naah, akhirnya kamu mau bicara juga. Ini kan gambar yang kamu buat. Kamu pintar membuat lukisan, menggambar di mana-mana, aku enggak ada apa-apanya soal itu. Ini gambar Bebegig Sukamantri versi kamu, Mel. Coba diingat-ingat!” jawabnya lembut.

    Perempuan itu mengernyitkan dahinya, tampak berusaha mengingat-ingat, tapi kemudian menggeleng-gelengkan kepala.

    “Kamu dulu pernah jatuh di dekat kantor Kecamatan Sukamantri. Kita lagi nonton festival bebegig yang meriahnya minta ampun. Luar biasa. Waktu itu kamu begitu penasaran, pengen coba pakai kostum bebegig yang paling kamu suka, dan … ternyata berat kan? Konon yang paling berat bisa sampai 60 kilogram! Kamu, iya kamu, malah mau coba pakai itu. Kamu jatuh waktu itu, lalu malah ngakak keras-keras,” ia terus mencerocos, tak peduli Melati yang kembali bengong, menatap ke arah jalan.

    “Di sini dingin ya, A Wildan, tapi tak sedingin di Pyeongchang, tapi aku bahagia kok, makasih udah ngajak ke sini,” ucap Melati setelah jeda beberapa saat.

    Ia menghela napas, menekan perasaan. Ternyata memang butuh lebih banyak lagi kesabaran menghadapi Melati yang sekarang. Kadang Melati 'datang', tapi seringkali perempuan itu 'menghilang'.

    ***


    Dulu, di hutan pinus Sukamantri ini, ia pernah membacakan satu bait puisi untuk menebus seulas senyuman manis Melati. Tak peduli tanggapan beberapa pelintas yang sedang singgah dan menghangatkan perut di kedai kopi ini, ia berdiri dan membaca puisinya dengan lantang.

    Melati puspa abadi,
    kabut ini bawakan pesan,
    satu larik pertanyaan,
    yang tak boleh kauabaikan ….


    Puisi gombal mahasiswa tingkat akhir yang sedang galau menghadapi sidang skripsi itu nyatanya mujarab memancing seulas senyuman. Senyuman Melati, sang buah hati. Senyuman yang lalu dibawanya hingga ke alam impian. Meski tak sanggup mendatangkan gemerlap harta, tapi rangkaian kata-kata yang dikumpulkannya siang dan malam telah menjelma menjadi aset yang paling berharga. Baginya, dan untuk Melati juga. Perempuan yang dikejar banyak pemuda itu tak ragu menjawab "iya" saat ditanya apakah mau menemaninya hingga tutup usia. Kedai kopi dan pepohonan di Jahim Sukamantri jadi saksinya.

    “Kamu enggak usah berpikir untuk ngasih apa-apa, pemberianmu hanya bakal membuatku bosan dan menganggapmu sama saja seperti mereka. Aku hanya ingin mendengarmu membacakan cerita atau puisi yang indah tentang kita,” ucap Melati, seolah tahu kegundahannya. Ia merasakan sedikit perih, tapi tak berdaya untuk menyangkalnya. Ia lantas berusaha sedikit berbangga.

    Melati bukan pribadi biasa-biasa. Wajahnya putih bersih, dengan sepasang mata yang tajam dan bersinar-sinar, menyiratkan antusiasme yang selalu menyala-nyala. Rambutnya lebih sering dikepang kuda, bergoyang-goyang ketika sedang berjalan, membuatnya tambah menjadi perhatian para mahasiswa. Meski terkesan tak acuh soal dandanan, nyatanya ia tetap begitu memesona.

    Sejak ia melihatnya pertama kali pada sebuah acara di kampus Fakultas Ilmu Budaya, sudah tampak jelas bahwa gadis itu bukan berasal dari keluarga biasa-biasa. Melati datang sambil menyetir mobil sendiri ke kampus, sesuatu yang tidak semua mahasiswi bisa melakukannya. Ia hampir tertabrak mobil gadis itu di pintu gerbang kampus, dan itu jadi perjumpaan pertama yang aneh dan tak terlupakan.

    Suara ban berdecit sempat mengagetkan semua orang. Ia sendiri hampir terloncat, menyadari honda jazz putih hampir saja menyerempet badannya saat terpaksa turun dari trotoar, karena ada penghalang.

    “Maaf ya …, mau ke atas? Masuk, ikut bareng aku aja, ya!” sang sopir, Melati yang putih berseri, memperlihatkan wajah bersalahnya yang tetap manis. Ia tersihir suara merdu suara dan wajah sopir cantik itu, lantas seperti kerbau dicocok hidung langsung masuk dan duduk manis di sebelahnya.

    “Kamu enggak takut, main nyuruh aku naik aja?” tanyanya saat sudah sadar dari keterpesonaannya.

    “Ada tiga alasan aku ngerasa enggak perlu takut. Pertama, aku hampir menyerempet barusan. Maaf ya, terburu-buru dan teralihkan melihat catatan. Kedua, pembukaan kegiatan Lomba Panjat Dinding di kampusku hampir dimulai, dan kamu ini pakai seragam mapala, jadi sama sepertiku kelihatannya lagi terburu-buru juga. Pasti salah satu undangan, kan? Nah, kita satu tujuan. Ketiga, setahuku pemakai seragam yang ini baik-baik kok, Fakultas Teknik 'kan? Aku kebetulan ada beberapa kenalan juga.”

    Jawaban itu segera menyadarkan dirinya. Nah, ternyata ada perempuan di alam nyata yang persis sosok di dalam imajinasi puisimu, bro! Tapi ia tak hendak merendahkan diri dengan terlihat terperosok ke dalam jurang keterpesonaan lagi. Gengsi! Maka ia pun mengalihkan topik pembicaraan pada toples kecil yang berada di bagian tengah bawah dashboard.

    “Kamu suka ngemil ya?” tunjuknya. “What? Sembarangan, bukan! Itu makanan kucing. Aku suka ngasih makan kalau nemu kucing yang kelaparan di jalan,” sahut perempuan, diakhiri ledakan tawanya. Benar-benar tawa yang tanpa canggung dan malu. Ia suka tawa Melati yang khas itu, bahkan tak butuh waktu lama untuk kemudian jatuh cinta.

    ***


    Perjalanan dirinya bersama Melati Anum Bahira, mengalir mengikuti perputaran waktu, hembusan angin, buaian kata-kata dan beragam isyarat semesta. Beberapa waktu kemudian, kedekatannya dengan Melati menjadi gosip terhangat di kalangan teman-teman. Konon, perpaduan yang membuat iri dan cemburu banyak pasang mata.

    Melati memang pribadi yang unik dan istimewa, memukau dirinya sejak perbincangan pertama. Sering kali, perempuan itu masih juga memberinya kejutan-kejutan yang tak terduga. Meski keseharian Melati terlihat demikian teratur dan lancar, seolah tak pernah ada kesulitan di dalam hidupnya, sebab semua berjalan serba mudah dan nyaman, nyatanya gadis itu malah suka dengan berbagai tantangan yang tak biasa, seperti lomba debat, les masak, panjat tebing dan naik gunung, misalnya.

    Sosoknya menjadi perpaduan antara cantik, pintar, kaya, suka beraktivitas dan penyuka petualangan alam bebas. Meskipun begitu, Melati tetapi tetap luwes bergaul dengan sesama mahasiswa. Bukan hanya menjadi aktivis biasa, apalagi sekadar penggembira, sebaliknya Melati malah pernah menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa di jurusannya, Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya.

    “Jangan hanya menilai dengan apa yang ada di permukaan, bung!” canda Melati, saat mendengar pujiannya.

    "Aku tidak akan melepaskanmu. Kita bakal terus bersama, seperti pinus dan kabutnya, di hutan Jahim yang kita kunjungi dulu," jawabnya.

    Alih-alih pipinya merona, atau tampak berbunga-bunga, Melati hanya menyahut pelan, "Gombal!" katanya, sambil mencubit tangannya, lalu menyandarkan kepala berambut kepang kuda itu di bahunya.

    Ia tertawa, lalu bersenandung perlahan. Senandungnya konon semerdu Aki Sasmita, kakeknya, salah satu seniman termasyhur di zamannya, itu kata ibunya.

    Dengkleung dengkleung déngdék,
    buah kopi raranggeuyan….


    Ia menghentikan senandungnya, saat merasakan tangan Melati meraih tangannya, lalu mendekatkan tangan itu ke mulutnya. Ciuman tangan itu tak pernah dilupakannya. Sebagaimana kabut yang selalu datang ke hutan Jahim, kenangan tentang ciuman tangan itu selalu kembali ke pikirannya.

    ***


    Kini, diliriknya perempuan kuyu itu. Melati yang dulu dikenalnya selalu penuh semangat dan hampir tak pernah diam, sekarang tampak kurus dan layu. Tak ada lagi sisa-sisa enerjiknya yang selalu membuatnya ikut bersemangat mengarungi kehidupan.

    "Kamu harus melanjutkan hidupmu, Mel. Kamu masih muda, hidupmu masih panjang. Kamu berhak buat bahagia …," ucapannya menarik perhatian Melati.

    "Kok A Wildan bilang gitu? Aku bahagia kok. Harus bahagia, biar Papa juga bahagia," jawab Melati sambil tersenyum, tapi matanya berkaca-kaca.

    "Iya, Papa memang pasti ingin yang terbaik buatmu, Mel. Tapi sekarang Papa dan A Wildan sudah pergi, harus diikhlaskan," ia berusaha mengungkapkan kata-katanya selembut mungkin, sambil mengelus kepala Melati perlahan. Namun wajah perempuan itu beriak, lalu mulai tampak panik.

    "Papa, Papa … ke mana, A Wildan?" katanya gugup, sambil mencengkram sisi kursi rodanya.

    Ia mengeluarkan potongan kliping koran yang didapat dari Tante Mira, berita kecelakaan pesawat di Laut Jawa yang terjadi setahun silam. Tak ada penumpang yang selamat, termasuk papa dan suami Melati. Sejak itu Melati berubah. Ia yang akhirnya menyerah untuk mau dinikahi Wildan, pilihan papanya, menjadi janda dan yatim secara tiba-tiba. Baru saja ia terguncang karena harus meninggalkan pilihan hatinya, lalu berusaha menjadi anak berbakti, sebab Melati sangat dekat dengan papanya, lalu tiba-tiba kehilangan dengan cara yang sangat tak terduga. Kecelakaan itu hanya seminggu setelah bulan madunya di Korea. Beberapa saat setelah itu, Melati sempat dirawat. Tante Mira menceritakan semuanya sambil menangis.

    "Papa dan A Wildan sudah berada dalam kasih sayang Allah. Mel harus ikhlas. Relakan, lepaskan beban ini. Kecelakaan pesawat itu …."

    Melati mengibaskan tangannya, membuang potongan kliping koran yang baru dilihatnya, lalu menutup telinga. Tak lama, lalu sibuk membuka tasnya, mencari-cari sesuatu. Saat Melati sudah menemukan wadah obat yang dicarinya, ia segera menggenggam tangan yang gemetaran itu. Dipeluknya perempuan yang mulai menangis itu, sambil mulai bersenandung.

    Dengkleung dengkleung déngdék,
    buah kopi raranggeuyan….


    Senandungnya, yang kata ibunya semerdu senandung Aki Sasmita, mengalun di udara, menembus kabut yang mulai memudar. Suaranya indah tetapi lirih, menyambut mesra semburat cahaya matahari yang mulai menembus rimbun dedaunan. Ia baru berhenti ketika merasakan sebuah kecupan di tangan. Kecupan yang tak pernah dilupakan, seperti kabut tak pernah melupakan hutan.

    Penulis: @fiksisaja
    Foto: @akmalpk_

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Sejarah

    Fiksi

    Inspirasi