• FYI

    08 Januari 2014

    Rambut Putih Ibunda



    Angin sore yang sejuk menentramkanku. Orkestra lengkingan anak-anak terdengar bersahut-sahutan. Sebuah harmoni. Dunia bermain mereka pastilah mengasyikkan. Tapi Si Bungsu, Fairuz, tiba-tiba saja datang. Tak biasanya. Seolah riuh-rendah dari arah lapangan tak menarik hatinya. Padahal biasanya dia bermain sampai lupa waktu bersama ‘geng krucil’-nya.

    “Kok, udah pulang, De?” tanyaku.

    Malaikat kecil itu cuma tersenyum, menaruh kepalanya di pangkuanku dan berbaring, bermanja-manja. Kubelai rambut hitam pekatnya dan seketika desir haru menyeruak ke dalam dadaku.

    Cukup lama menanti kehadirannya, berselisih lima tahun dengan kakak satu-satunya. Kuakui, kegembiraan atas kehadirannya kadang menjelma menjadi sikap yang membuat ‘Teteh’-nya merengut iri. Bunda mah lebih sayang Ade, protesnya sesekali. Kalau sudah begitu, Amira kupeluk erat dan kubujuk-bujuk, hingga senyum indahnya mekar kembali.

    “Bun …, kenapa rambut Bunda teh ada yang putihnya sih?”

    Tangan kanannya meraih rambutku. Aku mengernyit sejenak. Satu dua warna putih memang terselip di sana. Bunda sedang beranjak tua, De ... ah, tidak, jangan kalimat suram itu jawabannya. Duh, pertanyaanmu itu, Nak, kenapa kadang-kadang ngagetin Bunda sih? Otakku segera bekerja keras menyusun kata-kata.

    “Mmmm, gara-gara Ade sih....”

    Sontak, dia menggeliat dan mengambil posisi duduk, lalu menatap polos penuh keseriusan. Kusentuh hidung kecilnya perlahan, membiarkannya semakin tak sabar menanti penjelasan.

    “Ini teh setiap satu kali Ade nakal sama Bunda, ada satu rambut Bunda yang berubah jadi putih, De ...,” candaku, berpura-pura.

    Ia nampak berpikir keras, mengabaikan penjelasan ‘bla-bla-bla’ yang kusampaikan sambil mengagumi paras tampannya. Aku berbisik sendiri di dalam hati, “Kamu nakal seratus kali sehari pun, ‘nggak apa-apa, Nak!” Padahal, dia sama sekali tidak nakal!

    “Ade tahu sekarang ...!” tiba-tiba suaranya membahana, diiringi acungan telunjuk kanan menirukan gaya guru TK-nya.

    “Apa, Sayang?”

    Pantesan rambut Enin putih semua! Bunda nakal banget ya sama Enin?” tanyanya tak terduga.

    Sungguh, kalimat yang tak terduga. Ada yang menjalar dengan cepat di dalam hatiku, seirama dengan hadirnya bayangan Mamah nun jauh di Ciamis sana, di kampung halaman tercinta.

    Ya Allah, malaikat kecilku tiba-tiba saja mengantarkan kelembutan nasihat-Mu yang menggetarkan dada. Fairuz segera terjebak dalam dekapan, ketika butiran-butiran hangat tak terbendung lagi dari mataku, meleleh dari sudut-sudut kerinduan yang berujung doa.

    (ditulis @ciamismenulis, terinspirasi tulisan 'Seorang Anak dan Ibunya')

    Sejarah

    Fiksi

    Inspirasi