• FYI

    20 Agustus 2019

    Melepas Dahaga di Sirup Haji Edi

    “Ciamis sekarang panas ya …,” ujar sepupuku. Padahal dia tinggal di Banjar. Seharusnya ia lebih kuat dan tahan suhu kota Ciamis, dibandingkan aku yang asli orang dataran tinggi Panawangan.

    “Sejak dulu juga memang begini, kan?” jawabku sambil membetulkan tali sepatu. Alun-alun Ciamis memang sangat panas hari ini. Terlalu lama menunggu seseorang yang janji bertemu di Alun-alun Ciamis membuat kami merasa haus. Menunggu dua jam, bertemu hanya sekitar lima belas menit. Menyebalkan.

    Jam menunjukkan pukul 13.08 WIB. Matahari begitu terik. Beruntungnya, udara Ciamis tetap bersahabat dengan kulit. Walaupun terasa panas, tetapi ada gerah-gerahnya gitu. Membuat keringat bercucuran. Kalau berkeringat begitu kan, kulit kita tidak akan kering. Kulit tetap lembab walaupun kepanasan. Ah, itu sih pendapat orang Panawangan yang biasa bersejuk-sejuk ria di pegunungan.

    “Mending kita ngadem di Yogya yuk!” sepupuku merengek. Wajahnya ditumbuhi titik-titik bening bulir keringat. Tangannya yang putih sibuk menepuk-nepuk wajahnya dengan tisu yang dilipat segi empat.

    Aku tertawa geli. Idenya memang bisa diterima. Akan tetapi mau apa ke sana? Tidak ada yang harus kami beli. Uang di dompet pun tak akan cukup membayar mata kami yang lapar.

    “Ah, jangan. Kita cari munuman saja, yuk,” aku berpikir sejenak. Kemudian tiba-tiba, “kita makan es campur Haji Edi saja!”
    setengah meloncat, aku mengucapkannya dengan penuh kegirangan.

    Selama bertahun-tahun selepas lulus dari SMAN 1 Ciamis, belum pernah berkesempatan lagi merasakan lezatnya es campur Haji Edi. Semasa kost di Lembur Balong dulu, sering sekali menyengaja jalan kaki beramai-ramai dengan teman kos ke sana. Apalagi jika bulan puasa. Kami harus rela mengantre sejak pukul 14.00 siang demi mendapatkan sebungkus es sirup Haji Edi.

    Tapenya, alpukatnya, rasa khas sirupnya, hm …, rasanya sudah tak sabar tenggorokan ini ingin menikmati segarnya.

    Sepupuku hanya melongo. Dahinya mengernyit. “Di mana?” tanyanya. Orang Banjar yang satu ini ternyata belum pernah merasakan segarnya sirup Haji Edi.


    “Ikut saja!” aku menarik lengannya, sambil mempercepat langkah, mencari jalan terpendek, memotong jalan. Sepupuku tampak kerepotan menyamakan langkahnya denganku.

    “Tunggu, Teteh. Buru-buru banget!” keluhnya. Sandalnya yang berhak tinggi membuatnya kerepotan sendiri.

    Tidak memakan waktu lama, akhirnya sampai juga di Kedai Sirup dan Es Campur Haji Edi. Tempat yang sangat dirindukan.

    Penjualnya menyapa dengan sangat ramah, “Bade di dieu?” tanyanya.

    “Muhun, hejo hiji sareng anu beureum hiji,” jawabku, disusul anggukan Akang penjual, yang konon beliau adalah menantunya Haji Edi pemilik kedai.

    Dalam beberapa menit saja, dua mangkuk sirup pun sudah terhidang. Nyaris tanpa bicara lagi, sepupuku langsung menyantapnya sendok demi sendok. Menyedot kuah es campur dengan bersemangat.

    “Gimana?” tanyaku padanya. Sepupuku hanya menganguk-angguk dan mengacungkan dua jempolnya pertanda dia sepakat dengan pilihanku.

    Kolang-kaling muda, tidak alot kalau digigit, mutiara berwarna pink, serutan kelapa muda, tape, dan yang paling penting, tempat ini selalu memiliki pilihan bagus dengan buah alpukatnya yang begitu 'pulen'. Campuran susu dan sirupnya pun begitu pas. Tidak salah jika es campur ini begitu melegenda di Ciamis, karena ternyata sirup ini sudah ada sejak tahun 1980-an.

    Siapa yang belum pernah mencoba? Coba saja datang ke kawasan Swadaya Ciamis. Sirup H. Edi buka dari pagi sampai menjelang magrib.

    Tidak terasa semangkuk sirup segar sudah pindah ke perut. Haus dan dahaga pun sudah sirna. Saatya kami pulang. Setelah mengeluarkan uang Rp. 24.000 saja untuk dua porsi, kamipun melenggang tangan dengan perasan senang.

    Penulis: Diantika IE, Kontributor CIAMIS.info
    Editor: @ciamis.info

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Sejarah

    Fiksi

    Inspirasi