• FYI

    03 April 2021

    Kala Atiqah Merindu Rancah


    “Kamu teh benar tidak akan pulang ke Rancah, Atiqah? Benarkah? Apa kamu sadar kalau Ibu dan Ayah pasti bakal bertambah susah mendengar rencanamu yang bikin resah? Mereka rindu kamu, Atiqah, dan makin ke sini terlihat semakin gundah. Pulanglah!”

    Atiqah, sejatinya, juga semakin merasa susah. Hari demi hari batinnya bertambah gelisah. Ucapan kakaknya, Teh Aisyah, membuatnya semakin yakin bahwa rencananya untuk tidak pulang mudik lebaran ke Rancah, ternyata hanya akan menambah masalah.

    Ibu dan Ayah memang tak akan marah, karena mereka bukan tipe orang tua pemarah. Ibu terlalu lembut untuk bisa marah, bahkan dari seluruh keluarga besar, Ibu-lah yang kerap disebut sebagai sosok perempuan paling ramah. Sementara Ayah, dia seorang pendidik senior di madrasah, kesabarannya begitu melimpah-ruah. Atiqah tak pernah melihat Ayah marah, bahkan pada kondisi yang begitu susah, itu yang ia tahu dari kejadian yang sudah-sudah.

    Biasanya, agenda yang paling ditunggu-tunggu Atiqah setiap menjelang lebaran adalah pulang ke rumah di Rancah. Suasana bulan Ramadhan selalu membuat kerinduannya semakin membuncah. Ia tetap rindu mudik, meski Ibu dan Ayah sejak lebaran tahun lalu terus menerus menanyakan kapan ia menikah. Atiqah sadar, usianya memang cukup sudah. Apalagi ia sudah beberapa tahun bekerja setelah lulus kuliah. Kini, ia punya penghasilan yang lumayan, meski tidak berlimpah. Orang tuanya juga tak melihat ada yang kurang dalam penampilan anak bungsunya yang memang selalu berwajah cerah.

    “Kamu teh cantik, Atiqah. Ibu mah yakin banyak pemuda yang mau meminangmu di Rancah,” begitu kata Ibu saat meneleponnya di suatu malam, dan seperti biasa selepas saling menanyakan kabar lantas berujung di pertanyaan yang sama: “kapan kamu mau menikah?”

    Ah, Rancah. Atiqah bukannya tak rindu dengan Rancah. Bahkan hatinya selalu tertaut dengan Rancah Betah. Rancah memang selalu membuatnya betah. Jika tak memikirkan tugas dan kewajibannya di tempat kerja, setiap pulang ke Rancah rasanya ia ingin menyerah dan memilih tinggal saja seterusnya di rumah.

    Kampung halaman terasa begitu tumaninah, jauh berbeda dengan hiruk-pikuk Jakarta yang setiap hari dihadapi Atiqah. Ia selalu ingin berlama-lama di Rancah, yang dirasakannya lebih membuat hatinya bungah, ketimbang kehidupan metropolitan yang serba meriah, atau meskipun mulai mengenal gaya hidup mewah.

    Sayangnya, pertanyaan tentang menikah berputar-putar di kepalanya, semakin hari semakin riuh-tendah, tak mampu dicegah Atiqah. Meski Ayah tak banyak bicara padanya, ia bisa merasakan bahwa lelaki yang sudah beranjak senja itu juga mulai resah. Ayahnya, panutannya, sangat menyayangi dirinya, anak bungsu yang terpaut tujuh tahun dari kakaknya, Teh Aisyah. Ia anak kesayangan Ayah.

    Atiqah juga tak mau gegabah. Ia juga tak mau kehilangan berkah. Baginya, keridaan orang tua adalah sumber segala berkah. Menjadi anak durhaka tak ada dalam kamus hidup Atiqah. Masalahnya, lagi-lagi memang sebuah masalah, ini tentang jodoh yang bukan perkara mudah. Ia tak bisa sembarang menerima hanya karena waktunya habis sudah. Seolah, karena kepepet maka harga dirinya menjadi murah.

    Terlalu pilih-pilih sih kamu mah!
    Jangan terlalu kaku, cowok-cowok jadi ogah!


    Suara-suara itu kadang singgah. Ia bahkan pernah merasa jengah. Beberapa teman baik memberitahunya, di mata mereka dia memang amat ramah, selalu berwajah cerah, tapi untuk urusan laki-laki tak pernah mau memberi celah. Ketegasannya membuat banyak peminat akhirnya menyerah. Mereka, yang sebenarnya lumayan banyak, adalah teman sekantor, sesama alumni sekolah atau kuliah, bahkan ada pula tetangga kosannya yang sebenarnya baik dan pemurah. Ia, Atiqah gadis Rancah, tetap memilih asyik dengan kesendiriannya yang semakin parah.

    Bukannya tak pernah. Ia pernah punya Gagah, jejaka asal Rajadesa yang menjadi tambatan hatinya, yang membuatnya jatuh cinta parah. Ia mulai tertarik sejak sama-sama ikut menjadi penari pada sebuah acara yang meriah. Ia dan Gagah menjadi penari utama dalam pagelaran yang dilakukan oleh Sanggar Ringkang Pamayang, sebuah kelompok seni terkemuka dari Cisontrol, Rancah.

    Sedemikian parahnya rasa cinta yang dimilikinya untuk Gagah, Atiqah pernah berharap lelaki itu akan menjadi pendamping hidupnya. Lalu, semuanya menjadi hancur ketika harus berpisah. Ia merasa tak diharapkan, tak cukup baik, dan terlalu rendah. Gagah memang tak pernah mengucapkan kata ‘pisah’, tetapi lelaki kurus itu seperti dibawa angin badai yang menyapu dedaunan basah. Hilang, musnah. Beberapa saat, ia sempat berharap lelaki itu akan kembali, tetapi harapannya kian melemah. Hanya saja, kesetiaannya memang tak bisa hilang dengan mudah.

    Ia akhirnya berdamai dengan kenyataan hidupnya yang tak indah, yang tak seperti panorama Puncak Bangku di Desa Situmandala, ‘negeri di atas awan’-nya Rancah. Ia sadar, jodoh tak dapat diharapkannya sebagai semacam hadiah, sebab harus ada pertemuan antara ikhtiar dengan doa yang diijabah. Namun, rasa perih akibat ditinggal kepergian Gagah, membuat kehampaan hatinya tak dapat dicegah.

    Ia menganggap Gagah sebagai panutan, sebab selalu penuh perhitungan, sopan dan sejujurnya tak pernah membuat susah. Lelaki yang ditinggal ayahnya sejak kecil itu juga tak pernah berlebihan mengumbar janji, tapi satu kalimat saja selalu membuat Atiqah begitu tergugah. Kata-kata Gagah selalu mampu menenangkan di saat hatinya gundah, dan membuat yang susah menjadi terasa lebih mudah. Atiqah yakin, bersama Gagah ia akan punya hidup yang penuh gairah, bukan kehidupan monoton yang membuat jiwa-jiwa semakin lemah.

    Aku ingin memberimu yang terbaik. Aku harus meraih dulu mimpi-mimpiku, lalu aku akan lebih punya maruah. Barulah aku datang dan menjemputmu, Atiqah. Akan kujemput untuk sama-sama bertani di sawah, mengelola sekolah, atau berkebun buah.

    Sebagian dari kata-kata pada surat Gagah, sebelum lelaki muda dari Rajadesa itu menghilang, tak pernah bisa benar-benar dimengerti oleh Atiqah. Ia melihat Gagah tak kurang apapun: baik, ramah, rajin salat, ngajinya bagus, aktif, dan pintar, meskipun bukan bintang kelas seperti Atiqah. Gagah satu tahun di atas Atiqah, lebih dewasa dan luwes bergaul, dan dikenal hingga ke kelas bawah. Atiqah juga tak pernah mempermasalahkan status sosial keluarga, saat berdekatan dengan Gagah, sudah bukan zamannya lagi berpikir apakah kalangan atas atau bawah. Gagah memang berasal dari keluarga yang amat terbatas kemampuan ekonominya, tetapi Atiqah melihat semangatnya begitu hebat dan tak kenal lelah. Begitu kuatnya sosok Gagah, Atiqah tak pernah mampu berlama-lama dengan beberapa lelaki yang menyukainya selama kuliah. Mereka tak ada apa-apanya dibanding Gagah.

    ***


    “Apa beneran, kalau kita pulang kampung, nanti kita bakal dipecat, Atiqah?”

    Suara itu mengagetkannya, seolah ia sedang asyik berkelana di hamparan awan Puncak Bangku Rancah yang indah, lalu tiba-tiba harus kembali ke dunia bawah. Atiqah melirik pada Dinar, temannya yang sedang melihatnya dengan muka resah. Dinar sudah beberapa waktu menanyakan pertanyaan yang sama pada Atiqah. Mereka teman satu ruangan yang sama-sama sedang dihantui persoalan pulang ke rumah.

    “Aku merasa itu cuma ancaman saja, biar kita makin jadi budak si bos pemarah,” bisik Atiqah.

    Persoalan di kantor inilah sebenarnya yang paling parah. Atiqah mau berdamai dengan pertanyaan tentang menikah, ia sudah pasrah. Namun, perkara ‘si bos pemarah’-lah yang membuatnya sangat susah. Ia sudah beberapa kali membuat bosnya itu marah, bahkan di depan rapat pimpinan pun Atiqah berani melawan karena merasa benar dan tak gentar menyanggah. Andai tak ada salah satu direksi yang tahu betul kemampuan Atiqah, dan selalu membela serta menyelamatkannya, ia mungkin sudah menyerah dan kalah.

    Perusahaan sedang berada dalam kondisi yang cukup payah. Pembukuan menunjukkan kas berjalan yang berdarah-darah dihantam wabah. Sudah cukup banyak karyawan yang di-PHK, dan si bos pemarah sangat mengincar untuk memecat Atiqah. Si bos pemarah, yang sudah beristri dan beranak itu, yang dikenal pintar tapi genit, pernah mencoba menggoda Atiqah dan ditolak mentah-mentah. Tak lama berselang, Atiqah juga tak sengaja memergoki orang itu keluar dari sebuah hotel, bergandengan tangan mesra dengan perempuan muda cantik berbaju merah. Si bos pemarah seketika pucat dan berganti arah. Atiqah hanya tersenyum kecil sambil berlalu untuk mengurus penyewaan ruangan untuk rapat direksi, dan sejak itulah sikap si bos pemarah jadi berubah. Apapun yang dikerjakan Atiqah hampir selalu dianggap salah.

    “Pekerjaan ini harus kamu jalani dengan penuh syukur, Atiqah. Banyak yang saat ini begitu susah, enggak bisa nyiar kipayah, kondisi sangat sulit karena pandemi, dan yang pasti ini teh sebuah amanah,” tutur Ayah tahun lalu, saat Atiqah pulang ke rumah.

    Atiqah terus memegang nasihat Ayah. Orang tua adalah pintu segala berkah. Meskipun ia merasa tersiksa dengan kondisi di tempat kerja, hatinya selalu damai jika mengingat Ayah.

    Hari sudah sore, hampir waktunya pulang, ketika tiba-tiba si bos pemarah singgah. Setumpuk berkas dijatuhkannya di meja Atiqah. Si bos pemarah menatap pada Dinar, teman sebelah Atiqah. Biasanya, begitu caranya bicara, tak mau menatap langsung Atiqah.

    “Dinar, saya sudah suruh kamu kerjakan ini dari tiga hari yang lalu, tapi hasil kerjamu payah. Data-datanya masih kacau dan tidak sesuai dengan luasan denah. Senin ada rapat direksi, dan saya harus presentasikan ini, jadi saya tunggu revisinya lengkap, kerjakan sama Atiqah! Oh ya, satu lagi, kerjakan ini dengan benar atau kamu, Atiqah, boleh anggap ini tugas terakhir sebelum memilih kembali saja ke kampungmu di Rancah!” cerocosnya sebelum berlalu ke ruang bawah.

    Dinar cepat meraih laporan itu, tampak shock dengan ucapan si bos pemarah. Atiqah memberi isyarat tangan, menenangkan Dinar yang gelisah.

    “Tenang, Dinar, itu kan maksudnya aku yang harus menyelesaikan laporan rincian anggaran dan denah,” ucap Atiqah lembut dan barulah Dinar mengusap matanya yang basah.

    “Si bos bergantung sama kamu, Atiqah.”

    Atiqah memilih menyandarkan punggungnya ke kursi kerja, sambil membuka pesan Whatsapp dari Teh Aisyah. Ia berusaha melupakan sejenak urusan kantor yang siksaannya makin bertambah-tambah. Hatinya kembali diliputi kerinduan pada Rancah yang tumaninah. Ia sudah hampir menyerah, tapi pekerjaan ini adalah amanah, kata Ayah. Ia juga tak mau pulang ke Rancah, lalu menjadi beban yang hanya membuat orang tuanya susah.

    Ia memijit tombol call untuk Teh Aisyah. Tak lama, panggilannya dijawab oleh kakak kesayangannya itu, yang menjawab dengan sumringah. Atiqah bahkan merasa tak diberi waktu untuk bicara atau menjawab oleh teteh-nya itu. Ada untungnya, sebab diam-diam ia sedang merasa sesak dihimpit oleh tugas baru dari si bos pemarah. Ia hanya tak ingin Dinar ikut stress dan biaanya menangis sampai air matanya tumpah ruah.

    Apa yang harus kamu lakukan sekarang, Atiqah? Bertahan, atau menyerah? Pulang ke rumah?

    “Neng, kamu tahu enggak, tanah Aki Darminta yang di samping jalan yang ke arah Patakaharja, yang luas itu, iya dekat dengan kebun Ayah ... nah, tanah itu kan sudah lama ditawarkan mau dijual sama pewarisnya, dan ternyata dua hari yang lalu sudah jadi terjual, sudah sah. Ternyata yang membeli teh teman kamu geuningan, dia habis pulang dari Mesir, kuliah di Al-Azhar terus dilanjut kerja, diajak temannya, di Jeddah. Sekarang sudah pulang, mau buka sekolah sama pertanian katanya, di Rancah. Kamu masih kenal si Gagah yang pinter nari itu ‘kan, teman kamu waktu sekolah? Ahhh, enggak mungkin lupa sama si Gagah. Teteh mah tahu atuh, tahu pisan kamu, Atiqah. Dia sama ibunya malah mampir tadi pagi ke rumah, ketemu Ibu dan Ayah. Dia bilang, dua hari lagi mau datang ke rumah, sambil nengok kebunnya Aki Darminta yang sebagian mau dibangun jadi sekolah. Dia masih sendirian, Atiqah. Sayang ya, kamu enggak ada di rumah ….”

    Penulis: @fiksisaja
    Editor: @ciamis.info
    Foto: @puncakbangkuofficial

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Sejarah

    Fiksi

    Inspirasi