Akhir-akhir ini banyak banyak tokoh yang keluar masuk pintu rumah Bupati Ciamis. Sudah lewat setengah tahun, Kabupaten Ciamis menjalankan pemerintahan dengan satu nahkoda. Kekosongan kursi Wakil Bupati hingga hari ini masih menjadi pertanyaan publik. Meski roda pemerintahan tetap berjalan di bawah kepemimpinan Herdiat Sunarya, tidak dapat dimungkiri bahwa posisi wakil bupati bukanlah pelengkap belaka. Dalam sistem pemerintahan daerah, keberadaan wakil kepala daerah memiliki fungsi strategis, baik dalam aspek koordinasi pemerintahan maupun dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan efektivitas kebijakan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 mengenai Pemerintahan Daerah secara tegas mengatur bahwa wakil kepala daerah memiliki kedudukan dan fungsi yaitu bertugas membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan, mengoordinasikan kegiatan perangkat daerah, serta memantau dan mengevaluasi kebijakan. Maka jika jabatan itu kosong dalam waktu yang lama, sebenarnya kita sedang menjalankan sistem yang pincang. Keberadaan dua poros kepemimpinan dalam pemerintahan daerah justru merupakan bagian dari prinsip “distributed leadership”, yakni suatu model kepemimpinan yang membagi fungsi strategis ke dalam beberapa aktor, guna meningkatkan efektivitas kolaborasi dan pengambilan keputusan (Kirkpatrick, 2021).
Herdiat: Bupati dari Rahim Birokrasi
Apalagi sosok kepala daerah saat ini, Herdiat Sunarya, adalah figur dengan latar belakang birokrasi yang sangat kuat. Herdiat bukan politisi karbitan. Ia bukan "turunan penguasa" atau "orang partai" yang ujug-ujug menduduki kekuasaan. Herdiat adalah produk murni birokrasi lokal. Ia meniti karier dari bawah, mulai dari Kepala Bagian Tata Usaha, Kepala Dinas, Camat, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat. Hingga puncaknya, ia dipercaya menjadi Sekretaris Daerah Kabupaten Ciamis. Karier panjang di birokrasi ini membentuk karakter teknokratik yang kental dalam gaya kepemimpinannya.
Sejak menjabat Bupati, Herdiat dikenal fokus pada penguatan sistem pelayanan, reformasi administrasi, dan efisiensi anggaran. Ini tentu menjadi kekuatan. Namun karakter semacam ini tetap memerlukan penyeimbang yaitu sosok wakil yang bisa menguatkan jejaring sosial politik, menjembatani kebijakan dengan realitas masyarakat, serta menjadi mata dan telinga di lapangan. Efektivitas kepemimpinan bukan hanya soal visi dan kebijakan, tetapi tentang bagaimana pemimpin mampu membaca dinamika sosial dan membangun kapasitas kolektif melalui kolaborasi (Ospina & Foldy, 2022).
Sayangnya, hingga hari ini publik belum melihat ada langkah konkret untuk mengisi kekosongan itu secara terbuka dan berbasis sistem merit. Jangan sampai, dalam momentum penting tata kelola pemerintahan yang membutuhkan inovasi dan kontribusi nyata pada aspek kemajuan daerah, posisi ini justru menjadi bagian dari kompromi politik atau alat dagang sapi di tingkat lokal. Jika itu yang terjadi, maka kita telah kehilangan kesempatan penting untuk memperkuat tata kelola daerah.
Wakil Bupati Bukan Figuran Politik
Belajar dari daerah lain, kita bisa melihat pentingnya komposisi kepala dan wakil kepala daerah yang saling mengisi. Misalnya, di Banyuwangi, mantan Bupati Azwar Anas (2010-2021) dikenal sebagai inovator kebijakan, sementara wakilnya berperan besar dalam penguatan relasi sosial dan komunikasi publik. Di Kota Makassar, Danny Pomanto (2021-2025) bekerja efektif bersama wakil yang aktif membangun koneksi ke komunitas akar rumput.
Ciamis sebenarnya memiliki modal sosial dan birokrasi yang cukup kuat. Namun agar arah pembangunannya berkelanjutan, diperlukan kepemimpinan yang bukan hanya kuat di atas meja birokrasi, tapi juga hadir di tengah masyarakat. Untuk itu, sosok wakil harus memiliki tiga syarat utama yakni kapabel secara teknis, berintegritas secara moral, dan adaptif secara sosial politik. Dalam sistem pemerintahan lokal modern (Hondeghem dan Vandendriessche (2022), keberhasilan kepemimpinan tidak hanya ditentukan oleh kemampuan manajerial, tetapi juga kapasitas untuk mengartikulasikan nilai-nilai bersama, menjembatani ekspektasi warga, serta mendorong partisipasi sosial secara inklusif.
Jangan sampai posisi ini hanya diisi oleh orang yang dekat dengan kekuasaan, tetapi tidak punya gagasan dan kontribusi. Wakil bupati bukan sekedar penumpang, tapi mitra strategis berfikir. Ia harus bisa berdiskusi kritis dengan bupati, memberikan masukan, bahkan menjadi "rem" saat diperlukan, bukan hanya "gas" yang mengikuti arah tanpa nalar.
Menuju Kepemimpinan Daerah yang Kolaboratif dan Berorientasi Melayani Publik
Kondisi kekosongan ini harus dimanfaatkan untuk melakukan seleksi yang berbasis kualitas. Pemerintahan yang sehat lahir dari kepemimpinan yang seimbang, bukan dominatif. Karena pada akhirnya, rakyatlah yang akan menanggung dampaknya jika kekuasaan dijalankan tanpa kontrol internal yang memadai.
Pada perode pertamanya, Herdiat telah membuktikan kapasitasnya sebagai birokrat yang bekerja untuk masyarakat dengan banyaknya penghargaan yang didapatkan. Maka pada periode ini, sudah sepatutnya ia juga didampingi oleh sosok yang bekerja, bukan hanya bersandar pada popularitas atau kedekatan politik. Figur tersebut bisa berasal dari kalangan profesional, tokoh masyarakat yang progresif, atau bahkan birokrat muda yang memiliki kapasitas manajerial dan kemampuan komunikasi publik.
Masyarakat Ciamis harus berani bersuara. Kursi Wakil Bupati bukan sekadar formalitas, tapi titik tumpu dari tata kelola pemerintahan yang sehat. Kita berharap semua pihak, baik DPRD, partai politik, maupun aktor masyarakat sipil, tidak hanya duduk menunggu, tetapi turut aktif mendorong lahirnya figur wakil yang benar-benar memperkuat sistem, bukan sekadar mempercantik tampilan pemerintahan.
Ciamis pantas dipimpin oleh duet yang setara, saling melengkapi, dan sama-sama bekerja untuk rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar