• FYI

    06 Februari 2021

    Makna Simbolis Bangunan Kolonial Belanda di Perkebunan Karet Lemahneundeut Cisaga


    Perkebunan karet yang berlokasi di Lemahneundeut, Cisaga, Ciamis, Jawa Barat, berdiri sejak tahun 1908, yakni pada masa ketika Kolonial Belanda menapakkan kaki di Nusantara dan meninggalkan jejak sejarah yang begitu kental. Saat ini, beberapa bangunan warisan Belanda masih tampak berdiri kokoh di lokasi tersebut.

    Wilayah perkebunan karet Lemahneundeut terdiri dari 3 bagian utama, yakni bekas kompleks pabrik Cisaga, kantor induk, serta perumahan pejabat dan karyawan. Terkait perumahan pejabat dan karyawan, ada hal-hal yang unik dari bangunan-bangunan peninggalan Belanda tersebut, di mana setiap rumah memiliki spesifikasi, bentuk, serta jarak yang berbeda.

    Menurut Lia Nuralia dalam penelitiannya pada tahun 2015, pada zaman kolonial Belanda terdapat 3 golongan sosial yang tercermin dari bangunan-bangunan rumah di perkebunan karet Lemahneundeut tersebut, yakni 'golongan atas', 'golongan menengah', dan 'golongan bawah'. Berikut ini bahasan tentang ketiga jenis bangunan yang dimaksud:

    Foto 1 Foto Mess Perkebunan Batulawang di Cisaga, 2021.

    Mess Perkebunan Batulawang, Cisaga, memiliki gaya bangunan untuk 'golongan atas'. Bangunan ini pada zaman kolonial Belanda merupakan rumah yang dihuni oleh kelompok kulit putih, yakni bangsa Belanda, dengan posisi jabatan di perkebunan sebagai Administratur Cisaga. Administratur pada saat itu merupakan posisi tertinggi dan sebutan untuk seorang pimpinan di perkebunan.

    Bangunan ini berdiri di tempat yang strategis, berada di atas lahan yang lebih tinggi, tepatnya di sebelah barat Jalan Rancah dan berseberangan dengan kantor administrasi. Jarak dari rumah menuju lokasi kantor administrasi hanya 20 meter, sedangkan jarak ke pabrik karet sejauh 200 meter.

    Rumah administratur ditata sestrategis mungkin dan dianggap sebagai sentral bangunan, sehingga posisi ini memberi kesan eksklusif. Rumah tersebut menggunakan Gaya Arsitektur Transisi (1890–1915), memiliki luas lebih kurang 20 x 30 meter, atau setara sekitar 600 meter persegi.

    Rumah ini terdiri atas bangunan inti yang mencakup ruang tamu, 4 kamar tidur, lorong antar kamar tidur, ruang keluarga/makan, dapur, kamar pembantu, kamar mandi, serta gudang. Di samping itu, bangunan ini juga memiliki taman di depan dan bagian samping, sehingga sirkulasi udaranya cukup nyaman. Saat ini, rumah tersebut difungsikan sebagai mess.

    Foto 2. Rumah Dinas Kepala Afdeling Lemahneundeut, 2021.

    Rumah dinas Kepala Afdeling Lemahneundeut termasuk ke dalam bangunan dengan gaya bangunan 'golongan menengah', yang menjembatani antara 'golongan atas' dengan ‘golongan bawah’. Sebutan ‘golongan menengah’ diberikan kepada orang-orang Eropa yang mempunyai posisi sebagai Kepala Afdeling, pejabat di bawah Administratur.

    Rumah ini terdiri satu bangunan inti dan tidak memiliki bangunan tambahan. Ukuran rumah berkisar sekitar 10 x 25 meter atau lebih kurang 250 meter persegi, yang terdiri dari ruang tamu, 2 kamar tidur, ruang tengah, ruang keluarga/makan, kamar mandi, dapur, dan gudang. Terdapat halaman depan yang menghadap jalan raya dan ruang di samping kanan sebagai garasi mobil terbuka.

    Foto 3. Rumah Dinas Karyawan Perkebunan di Cisaga, 2021.

    Rumah Dinas Karyawan Perkebunan Cisaga memiliki gaya bangunan untuk ‘golongan bawah’, sebutan untuk pribumi asli Indonesia yang dipekerjakan sebagai ‘kullie’ dan mandor pribumi. Pada masa kolonial Belanda, ‘kullie’ merupakan jenis pekerjaan paling rendah.

    Ukuran rumah untuk para pribumi hanya sekitar 6 x 10 meter atau lebih kurang 60 meter persegi dan diperuntukkan bagi 2 kepala keluarga, sehingga masing-masing hanya memperoleh luas bangunan sekitar 30 meter persegi. Rumah tersebut hanya terdiri atas ruang tamu dan ruang tidur. Bagian dapur berada di luar halaman belakang, serta tidak memiliki kamar mandi sendiri.

    Jarak antara rumah dinas karyawan dengan pabrik karet berkisar sekitar 450 meter, sedangkan jarak ke rumah administratur sekitar 150 meter. Perbedaan jarak tersebut memberikan kesan bahwa secara sosial terdapat perbedaan dan ketidaksetaraan. Rumah dinas karyawan juga berada di tempat yang kurang strategis.

    Perbedaan gaya rumah dan jarak menunjukkan betapa kentalnya perbedaan status sosial berdasarkan ras/etnis pada zaman kolonial Belanda. Perbedaan bukan hanya terlihat dari posisi pekerjaan di perkebunan yang begitu jelas, namun juga dari penataan bangunan dan posisi strategisnya. Semuanya ikut andil memperlihatkan kesenjangan tersebut.

    Catatan lainnya, material yang digunakan untuk membangun rumah pun terlihat berbeda. Beberapa rumah golongan atas masih berdiri kokoh dan tampak keasliannya hingga sekarang, tetapi sebaliknya pada rumah karyawan sudah ada beberapa yang harus direnovasi total, karena terbuat dari material yang cepat rusak, sehingga membutuhkan perhatian khusus.

    Penulis: Lisnaeni, mahasiswi aktif semester 3, STEI SEBI, berdomisili di Dusun Sembungjaya, Desa Mekarmukti, Kecamatan Cisaga, Kabupaten Ciamis.
    Editor: @ciamisnulis.


    Referensi:
    Nuralia, L. 2015. Permukiman Emplasemen Perkebunan Batulawang di Afdeling Lemahneundeut di Ciamis, Jawa Barat. Purbawidya.
    Nuralia, L. 2017. Struktur Sosial Pada Rumah Pejabat Tinggi Perkebunan Zaman Hindia Belanda di Jawa Bagian Barat. Kapata Arkeologi.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Sejarah

    Fiksi

    Inspirasi