• FYI

    12 Maret 2021

    Kukejar Cinta ke Rajadesa


    “Beneran kamu mau pergi ke Ciamis, Jay? Kamu enggak serius ‘kan? Memangnya di Jakarta ini gak ada lagi cewek yang bisa dipilih, sampai harus jauh-jauh datang ke kota kecil kayak gitu?”

    Reza Nathan Buana─setuju dipanggil Jay, bukan lelaki muda yang mudah menunjukkan reaksi atas sebuah ucapan, atau bahkan terhadap tindakan. Ia bereaksi hanya kalau benar-benar ingin saja. Wajahnya yang putih bersih, dengan mata coklat teduh, hidung bangir, dan alis tebalnya, hampir selalu tampak tenang. Raut muka itu lebih banyak datar dan nyaris tanpa senyuman di sepanjang waktu. Anehnya, kebanyakan gadis, alih-alih menganggapnya terlalu dingin, lebih memilih menyebutnya sebagai ‘begitu menggemaskan’.

    Ia tetap duduk bersila di lantai teras kamarnya, seolah tak mendengar apa-apa, tetap tenggelam dalam keasyikan menata barang-barang ke dalam tas gunungnya. Tak jauh darinya, di dekat bibir kolam yang airnya selalu jernih kebiru-biruan, tiga teman terdekatnya, Dani, Rian, dan Kiki, duduk-duduk santai sambil memperhatikan. Jay tak terlalu suka dibantu saat berkemas, sementara ketiganya juga tak ingin jauh-jauh dari kopi hitam dan pisang goreng keju yang mantap. Mereka tampak bahagia, selalu demikian. Mengunjungi Jay memang pasti menyenangkan dan mengenyangkan.

    “Serius kita ke Ciamis besok, Jay? Hoi!”

    Pertanyaan kedua pun hanya menghilang diserap asri dan sejuknya taman. Dani dan Rian, saling berpandangan, lantas sama-sama mengangkat bahu, sementara Kiki menggeleng-gelengkan kepala.

    Aku jadi pergi ke Ciamis. Rindu suasana negeri di atas awan, seperti yang pernah ramai-ramai kita kunjungi dulu. Jamiaki ya? Indah banget! Sebelum kemping, aku bakal mampir ke rumahmu. Tunggu besok hari Sabtu ya.

    Jay memandangi layar ponselnya untuk yang kesekian kalinya. Belum ada juga balasan DM masuk di instagramnya. Memang seperti itu biasanya, yang dikiriminya pesan akan selalu terlambat membalas, seolah-olah harus membuka dulu sejumlah buku referensi di perpustakaan sebelum mengirimkan reply. Itu pun, setelah menunggu lama, hanya beberapa patah kata saja jawabannya. Kadang, hanya satu kata! Memprihatinkan, tapi Jay selalu merasa tak apa-apa. Ia tetap suka, bahkan─parahnya, makin tergila-gila.

    “Buset, ini anak! Beneran, ya, diajak ngomong aja nggak jawab. Ngeselin, dah!” gerutu Kiki.

    “Mungkin memang benar … jangan buang waktumu dengan mengajak bicara anak manusia yang sedang jatuh cinta,” timpal Dani.

    Tepat pada waktunya, jawaban itu akhirnya muncul juga.

    Ga usah datang ke rumah. Tapi makasih. Beneran cuma rindu hamparan awan ya?

    Jay bukan tipe yang akan melonjak kegirangan. Ia tetap tenang, meskipun sorot matanya sama sekali tak demikian, dan meski ada bunga-bunga yang bermekaran, harum mewangi di taman hatinya. Tidak, ia memang tidak butuh jawaban panjang.

    “Berisik saja kalian ini!” itulah ucapnya, saat akhirnya menghadap ke arah tiga temannya, “Kalian jadi ikut apa enggak? Astagaaa, gila kalian, pisang gorengnya dihabisin?”

    Ketiga temannya hanya cengengesan.

    “Kami pasti ikut,” Rian menjawab santai, “tapi jangan salah menyimpulkan. Kami semata-mata menjagamu saja, si korban cilok, cinta lokasi gegara KKN. Siapa namanya, bro? Rahma?”

    ***


    Rahma bukanlah sekadar nama. Jay menyimpannya sebagai impian tentang sosok gadis Tatar Galuh Ciamis yang alunan suara dan rekah senyumannya telah meluluhkan perasaan. Semua bermula pada semester sebelumnya.

    Ia melihatnya pertama kali saat sedang berbicara pada rapat koordinasi antar tim KKN di lokasi penempatan, sebuah desa yang sejuk di Kecamatan Panumbangan. Tim KKN dari kampusnya berjumpa dengan tim lain dari perguruan tinggi setempat. Rapat diadakan demi menghindarkan tumpang tindih program. Saat itulah, sementara ia berhasil membuat semua peserta rapat menyimak presentasinya tentang rencana aksi reboisasi, dilihatnya seorang gadis di pojok saung pertemuan malah tampak tak acuh dan asyik membaca sambil memasang headset.

    “Mari kita jadikan KKN ini sebagai pembuktian, teman-teman, bahwa mahasiswa yang kadang dipertanyakan perannya dalam membangun wilayah, terutama desa, ternyata mampu memberikan solusi yang nyata dan konstruktif untuk masyarakat sekitar. Terima kasih,” Jay mengakhiri paparannya.

    Secara mencolok, kharisma seorang Reza Nathan Buana, ketua mapala kampus, terlihat pada saat ia ‘harus berbicara’, padahal sehari-hari ia dikenal pendiam. Usulannya dengan segera mendapat aklamasi persetujuan, sebab presentasi singkatnya begitu runtut, argumentatif dan mudah dicerna. Rapat pun berlangsung singkat saja, sebab para peserta sudah gelisah karena terprovokasi oleh wangi ikan bakar dan goreng sambal terasi. Makan bersamalah yang kemudian menjadi agenda utama. Selepas itu, Jay menemukan momen istimewa pertamanya.

    “Aduuuh, Dewiii, kamu teh enggak boleh boros tisu kayak gitu!”

    Astaga, suaranya! Jay berdebar. Ia belum pernah mendengar alunan suara sehalus dan serenyah itu. Lembut tapi tetap berwibawa. Pandangannya tertaut pada seraut wajah manis berhijab ungu, dengan dagu yang lancip dan mata bercahaya, yang sekilas tadi sempat menarik perhatiannya karena tampak asyik membaca dan tak peduli presentasinya. Ia menatap gadis itu lekat-lekat.

    “Ahh, kenapa sih, Rahma? Ini teh tisunya kan memang disimpan di sini buat dipakai sama kita!”

    “Kamu enggak tahu ya berapa pohon yang ditebang hanya buat keperluan manusia bikin tisu? Setiap membuat satu ton tisu, kita teh harus menebang tujuh belas pohon, lalu menyediakan dua puluh ribu galon air. Bayangin! Kita teh harusnya ….”

    Jay tak pernah lupa momen berikutnya. Pemilik suara renyah itu, Rahma Khatulistiwa, si mahasiswi berhijab ungu, tiba-tiba menyadari tatapannya. Slow motion yang terjadi adalah dua pasang mata terperangkap sesaat di dalam keheningan semesta, lalu terjadi letupan-letupan singkat kembang api berwarna-warni di langit hati yang luas dan senyap. Hanya singkat saja, sebelum mata indah itu menunduk dan suaranya tercekat. Wajahnya bersemu merah, lalu dengan cepat bangkit berdiri. Ia sempat melirik lagi ke arah Jay yang entah kenapa kehilangan gaya dan terdiam saja. Pipi itu semakin merona.

    “Ih, kamu mah, udah ngomong ngacapruk, malah pergi. Mau ke mana, Ma?”

    “Cuci tangan!”

    Terjadilah drama berdurasi singkat itu. Potongan buah-buahan, serpihan kayumanis, nata de coco dan sirup manis, tumpah ruah dari sebuah gelas tertendang kaki gadis yang sedang kikuk itu. Jay secara ajaib segera bergerak menyambar buku yang kebasahan, segesit saat dirinya sempat ikut mengevakuasi korban di medan operasi SAR. Sementara itu, sang gadis ngeloyor pergi diikuti temannya, Dewi, yang haha-hihi. Beberapa peserta rapat mulai berdehem dan menimbulkan suara riuh rendah bercampur tawa.

    ***


    Momen indah kedua, terjadi tiga minggu kemudian, di suatu sore yang sejuk, saat semua peserta aksi reboisasi sudah pulang dan hanya panitia yang tersisa. Kegiatan berjalan sukses. Pak Camat, Kapolsek, dan Danramil berkenan datang. Mereka ikut menanam pohon bersama Kepala Desa, ibu-ibu PKK, para mahasiswa, pemuda karang taruna, pelajar, santri dan warga lainnya.

    Jay tak suka berlama-lama beristirahat selepas evaluasi singkat. Ia mulai membersihkan sisa-sisa sampah sambil diam-diam mengeluh di dalam hatinya. Masih banyak peserta kegiatan yang membuang sampah di sembarang tempat, padahal lokasi pengumpulan sudah ditetapkan. Panitia sepakat membersihkan dan membawa semua sampah turun ke bawah.

    Jay hampir sampai ke dekat bibir tebing, lokasi dengan pemandangan terindah ke arah lembah, ketika telinganya mendengar lagi suara itu. Sebuah pohon aren besar menghalangi pandangannya, tapi ia yakin dengan sosok pemilik suara yang selalu terngiang-ngiang dalam pikirannya. Selama tiga minggu, ia nyaris tak berinteraksi dengan Rahma, yang selepas insiden ‘gelas tumpah’ tampaknya memilih menghindar darinya.

    “Sebenarnya aku agak kuatir, Wi.”

    “Kuatir kenapa?”

    “Soal penanaman pohon kopi di kaki Gunung Sawal ini teh harus terus dicermati pelaksanaannya, biar memberi manfaat sebesar-besarnya buat penduduk, tapi jangan sampai merusak kondisi lereng gunungnya.”

    Alunan suara itu tetap masih mempesona dirinya, tapi Jay tak terbiasa mencuri dengar. Ia langsung menempatkan diri di belakang dua mahasiswi yang sedang asyik memandang ke arah lembah itu.

    “Tapi kalau tentang pemilihan bibit pohon aren yang kita tanam, kalian setuju ‘kan?” pertanyaannya terlontar segera.

    “Ehhh, Kang Jaaay!” Dewi langsung menyapanya dengan ramah, sementara Rahma tampak pucat, “Setuju, dong. Pohon aren kan memang bagus daya serap airnya. Ya ‘kan, Rahma? Kamu yang anak Biologi, coba jelasin!”

    Rahma mendelik. Tak ada jawaban. Wajah yang bersih itu mulai bersemu merah lagi. Ia menatap Jay sekilas, tapi cepat-cepat menunduk sambil tersenyum tipis. Jantung Jay berdegup kencang. Senyuman itu membuat sisa kebekuan di puncak gunung es hatinya meleleh lagi dan mengalir menjadi sungai karamel yang wangi.

    Bukan hembusan angin lembah Gunung Sawal yang mendorong Rahma langsung bergegas menggamit Dewi pergi. Ketua Panitia Reboisasi-lah penyebabnya. Sang gadis bergerak cepat, tapi nahas, sisa tunggul kecil yang menyembul di jalan setapak menahan sepatunya. Tubuh yang agak kurus itu oleng dan kehilangan keseimbangan.

    Semesta lalu mencatatkan lagi kisah mereka, Jay dan Rahma, ketika rengkuhan spontan sang pemuda menahan tubuh gadis yang nyaris terguling itu. Jay cepat-cepat menarik lagi tangannya, lalu mundur selangkah, sebab ia tak sedang ambil kesempatan atau bertindak tak sopan. Sebaliknya, Rahma melesat lari melewatinya dengan rona pipi yang sudah menyerupai warna tomat matang. Hanya wangi tubuhnya yang tertinggal dan merasuk ke rongga kesadaran Jay. Mahasiswa yang selalu penuh stamina itu merasa lemas seketika.

    Lalaunan atuh, Ma! Cieee …,” Dewi menyusul sambil mengikik. Ia pamit meninggalkan Jay yang masih terkesima.

    “Kamu nggak apa-apa, Rahmaaa?” teriak Jay kemudian. Di dalam hatinya.

    ***


    Jay tak diam saja. Sudah berbagai cara ditempuhnya untuk bisa terhubung dengan gadis pemalu itu. Dewi yang sepenuh hati mau menjadi mak comblangnya—karena Jay sering mentraktirnya bakso, seblak, dan lain-lainya. Akhirnya, beberapa informasi bisa didapatkan Jay darinya. Rahma lahir dari keluarga pendidik yang religius dan cukup ketat, dan sejak kecil sudah dimasukkan ke lingkungan pondok pesantren. Rahma qariah terbaik di pondoknya, suka membaca dan aktif di pramuka. Selepas lulus madrasah aliyah sambil mondok, Rahma memilih program studi pendidikan biologi di kampus lokal, sesuai keinginan ayahnya agar tak pergi terlalu jauh dari rumah.

    Jay mulai berkomunikasi via instagram dengan Rahma setelah sebuah akun khusus dibuat untuk mendokumentasikan semua kegiatan KKN di desa, dan dari situlah ia tahu akun semua peserta KKN yang diwajibkan mem-follow akun KKN tersebut. Rahma menolak berkomunikasi dengan whatsapp, dengan dalih jarang dibuka, sebuah alasan yang membuat Jay tersenyum. Ia tak memaksa, padahal sudah tahu nomornya. Sudah beberapa kali pula mereka berpapasan dan hanya bertukar senyuman canggung, dan hanya sebatas itu. Tak pernah ada percakapan apalagi jalan bersama. Jay sendiri tak ingin membuat gadis kikuk itu tak nyaman. Ia cukup senang menemukan jalan istimewa. Kegemaran Rahma membaca membuat Jay memberanikan diri membawakannya sebuah buku, sehabis ia pulang ke Jakarta di pertengahan bulan. Ia sengaja memilih judul buku yang pernah diposting Rahma di instagramnya, dengan caption ‘nabung dulu’.

    “Terima kasih,” hanya kata itu yang didapat Jay, lewat Dewi tentunya. Buat Jay, itu lebih dari cukup. Ia bahagia.

    ***


    Lu sih, Jay, maksa ke sini. Kita sampai dikerubutin gini!” Dani berbisik ke kuping Jay pelan-pelan. Indra dan Kiki duduk dengan muka agak tegang. Raut muka Jay sendiri seperti biasa, datar-datar saja. Di poskamling yang hanya tinggal beberapa menit jaraknya dari rumah Rahma, mereka berempat tertahan oleh para pemuda kampung yang sedang bekerja bakti. Beberapa di antaranya menatap dengan penuh curiga dan saling berbisik.

    Jay dan kawan-kawannya menempuh perjalanan dengan kereta, dilanjutkan dengan menyewa kendaraan lokal untuk menuju ke rumah Rahma. Alamat yang didapatnya dari Dewi ternyata tidak terlalu sulit untuk dijangkau, hanya saja Jay tidak menyangka mendapat penyambutan istimewa pagi ini.

    Seorang yang mungkin pimpinan para pemuda itu mencoba menenangkan suasana. Ia mengajak Jay dan teman-temannya bicara di poskamling tersebut tersebut.

    “Dulu pernah ada yang mencari Rahma, datang ke rumahnya. Ternyata dia teh tukang mabuk yang sering mangkal di dekat sekolah Rahma, membuntuti sampai ke kampung ini. Rahma menolak ditemui, tapi si pemuda keukeuh dan ngamuk, hampir merusak rumah. Kejadian itu membuat keluarga Rahma sempat shock. Sejak itu kami lebih hati-hati menerima tamu untuk Rahma,” tuturnya.

    “Maksudnya, kita ini tampang-tampang pemabuk gitu, ya? Jangan kebiasaan menilai orang dari penampilannya saja!” Dani yang agak temperamental, angkat bicara. Nadanya agak naik. Sia-sia Jay menahan dengan isyarat tangannya. Dani yang bertubuh tinggi besar dan atlet silat memang paling pemberani. Masalahnya, menghadapi belasan pemuda kampung yang sudah penuh rasa curiga, dengan golok, arit dan cangkul di tangan mereka, tentu bukan hal sederhana.

    Benar saja, tiba-tiba beberapa pemuda sudah tersulut dan siap merubung Dani. Satu di antaranya bertubuh hampir sama seperti Dani, sudah mendekat dengan mata berkilat-kilat. Jay cepat loncat menengahi sambil mengangkat tangan meminta bersabar. Ketua pemuda setempat juga sama mengambil posisi menengahi percikan di pagi yang sejuk itu. Perang suara segera pecah di poskamling yang asalnya tenang dan damai.

    “Ada apa ini?” tiba-tiba sebuah suara menghentikan keributan itu. Suara yang dalam dan berwibawa, berasal dari sesosok tubuh kurus berbaju dan berpeci serba putih, dengan sarung hijau dan memakai serban di lehernya. Laki-laki paruh baya tersebut sudah ada di antara para pemuda yang keheranan atas kemunculannya yang tiba-tiba.

    “Eh, ini ..., Pak Haji,” sang ketua pemuda langsung mendekat dan mencium tangan lelaki berwajah bersih penuh wibawa dan dipanggil Pak Haji tersebut. Ia kemudian berbisik-bisik kepadanya. Pak Haji terdiam sesaat, manggut-manggut, lalu duduk di poskamling sambil memegang tongkatnya. Ia memberi isyarat, memanggil Jay dengan tangannya.

    “Sini, nak!”

    Barulah Jay melangkah dan kemudian ikut duduk setelah dipersilakan. Para pemuda kampung kembali ke aktivitasnya membersihkan sekitar jalan, meski pandangan mereka sesekali melihat ke arah poskamling. Indra dan Kiki mencari tempat duduk di dekat kumpulan tas gunung mereka, sambil menenangkan Dani, ditemani ketua pemuda setempat yang juga mulai reda rasa tegangnya.

    “Betul, kamu mencari Rahma?”

    Jay mengangguk, mengiyakan, lantas menyampaikan maksud kunjungannya untuk mengirimkan buku-buku yang sudah dipersiapkannya sejak beberapa hari yang lalu. Ia sudah mengemas beberapa novel dan sebuah buku tebal bertema biologi yang pernah diposting Rahma sebagai impian lain yang belum dapat dimilikinya. Jay menunjukkan bungkusan buku-buku tersebut. Pak Haji sejenak tertegun, lalu tersenyum. Jay dapat merasakan tatapan orang tua tersebut menembus ke dasar hatinya, terasa bijak, damai, dan teduh. Ia menaruh hormat meskipun Pak Haji tak banyak bicara.

    “Sepertinya Rahma belum dapat kamu temui di rumahnya saat ini. Bapak pernah muda seperti kamu, dan kagum dengan perjuanganmu jauh-jauh dari Jakarta ke sini hanya untuk mengantarkan buku-buku ini. Biar tidak berat, buku-buku ini biar Bapak yang memberikannya nanti pada Rahma, itu pun kalau kamu percaya. Kasihan kalau dibawa lagi, berat, dan ini sepertinya mau kemping, ya?”

    “Aduh, jadi merepotkan. Tentu saya percaya sekali. Iya, betul kami mau berkemah. Terima kasih atas bantuan Pak Haji dan mohon maaf sudah membuat keributan pagi-pagi.”

    “Tidak apa-apa, Bapak ngerti, darah muda memang begitu. Atau kamu dan teman-temanmu mau ke rumah Bapak dulu? Istirahat dulu, ngopi? Kopi Rajadesa enak sekali!”

    “Ah, tidak, Pak. Tidak usah. Terima kasih banyak. Kami langsung pamit saja ….”

    ***


    Sebenarnya Jay cukup kecewa, sebab ia tak sampai ke rumah Rahma untuk menuntaskan kerinduannya. Namun mengingat insiden yang hampir terjadi, dan mereka berempat selamat, maka perasaannya cukup lega dan bersyukur tak terjadi apa-apa. Mereka akhirnya beristirahat sejenak di dekat Masjid Besar Baitulhuda yang megah di pusat Kecamatan Rajadesa.

    "Sabar ya, Jay," Kiki menghiburnya. Wajahnya tulus, meski pandangannya segera beralih pada warung bakso di seberang jalan sana. Jay tersenyum sambil menepuk bahu sahabatnya yang tukang makan tetapi ajaibnya tak pernah gendut itu.

    "It's ok. Aku enggak apa-apa, bro. Ayo kita ke rencana semula, ke Puncak Jamiaki yang kabutnya indah di pagi hari itu.”

    Dani dan Indra saling berpandangan. Inilah yang selalu mereka kagumi dari Reza Nathan Buana. Meski sedang sedih sekalipun, ia pasti tetap memperhatikan teman-temannya.

    “Aku sudah kirim foto kamu yang lagi ngobrol sama Pak Haji di poskamling tadi via WA, Jay,” Dani menunjukkan ponselnya.

    “Ok, makasih, bro.”

    Jay segera mengirimkan foto itu melalui DM ke Rahma.

    Aku sudah sampai ke poskamling di dekat rumahmu, tapi terhalang bodyguard-mu yang satu kompi. Ini buktinya, dan aku sudah titipkan oleh-olehku buatmu lewat Pak Haji. Aku langsung ke Puncak Jamiaki ya. Doakan.

    Sosok yang wajahnya lembut dan imut itu, yang dagunya lancip dan sikapnya kerap kikuk, yang matanya indah dan suaranya mengalun merdu, yang renyah tapi tetap berwibawa, terus terbayang saat Jay membereskan lagi bawaannya. Tas gunungnya terasa lebih ringan setelah buku-buku tadi dikeluarkannya.

    Selepas istirahat, mereka akan langsung bergerak ke Panumbangan. Jay berniat mencari tempat makan dulu untuk mentraktir makan teman-temannya, ketika tiba-tiba sebuah teriakan memanggilnya.

    “Kang Jaay! Waaah, jadi juga ternyata ke sini, ya? Luar biasaaa!”

    Dewi, si mak comblang ceria, ternyata baru saja turun dari kendaraan, sudah berada di depannya dengan setelan baju lapangan, ditemani teman-temannya yang langsung Jay kenali wajah-wajahnya. Mereka bersembilan adalah teman-teman KKN Rahma.

    "Loh, kok... ke sini juga, Wi?"

    “Iya, kita datang semua dong, Kang Jay. Seperti reunian kan?” Dewi mengakhiri pertanyaannya dengan tawa. Kedua rombongan saling bersalaman. Kiki, Indra, dan Dani langsung bersemangat bertemu gerombolan yang didominasi para mahasiswi tersebut.

    “Ini mau pada ke mana sih?” Jay penasaran.

    “Kita mau kemping di puncak Upsa Rahong, salah satu ‘negeri di atas awan’-nya Ciamis juga yang nggak kalah indahnya dibanding lokasi-lokasi lain. Rahma ngajakin datang ke sini, dia kebetulan lagi jadi kakak pendamping di acara pramuka madrasahnya dulu. Sekalian tim KKN diajak reunian, katanya. Kang Jay diundang juga pastinya, ya ‘kan? Duuh, romantisnya ....”

    Jay merogoh ponselnya, sementara Dani, Indra dan Kiki mulai keheranan.

    Sudah aku bilang, jangan ke rumah. Aduh, kok pake ketemu bapakku di poskamling segala siih.

    Berbeda dengan biasanya, yang hanya satu dua patah kata saja, jawaban Rahma semakin mengalir lancar, bahkan diakhirinya dengan emotikon tawa. Jay tertegun. Ada letupan-letupan kembang api perayaan yang kembali bergema di langit hatinya. Sungai karamel yang mewangi, bunga-bunga berwarna-warni yang bermekaran di taman hati, kini semakin jelas gambarannya. Hanya saja, Jay adalah Jay. Wajahnya datar-datar saja. Ia tetap tenang sambil melanjutkan menata bawaan ke dalam tas gunungnya.

    “Eh, bro, gimana ini? Jadinya kita ke mana?”

    Karya: @fiksisaja
    Foto: @dzikky
    Editor: @ciamisnulis

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Sejarah

    Fiksi

    Inspirasi