• FYI

    11 September 2021

    Kurengkuh Angan di Panawangan



    Hari semakin siang dan benderang, tetapi cuaca sedemikian itu tak mampu mengusir muram yang malah bersemayam. Perjalanan yang dimulai dengan keriangan di pagi buta di Taman Raflesia, kini terasa amat menyedihkan. Namun, ia berusaha untuk terus optimis, meski hatinya kian meringis.

    Semakin bertambah jumlah anak tangga yang didakinya di Batu Walet ini, semakin terasa pula bahwa impian itu menjauh dari jangkauannya. Ia, Irfan Galuh Martadisastra, yang dikenal selalu optimistis dan kerap mengajak untuk melihat segala sesuatu dengan sudut pandang positif, kini harus bersiap untuk mengakui pahitnya kenyataan. Harapannya mungkin terlalu tinggi, melebihi bukit yang sedang dia daki.

    “Kang Irfaaan! Lambat bangeeet, gimana siiih!”

    Teriakan merdu dan manja itu membuyarkan lamunannya, memaksanya berpaling ke arah suara. Fira Anindya, si cantik berambut panjang bertopi hitam, tampak merengut sambil melambai-lambaikan tangan.

    “Iya, tunggu, Ra. Sabarlah ….”

    Ah, Ra, andai saja berbicara denganmu tak jadi sesulit ini. Irfan menarik napasnya dalam-dalam. Diakuinya, Fira selalu membawa semangat dan kegembiraan bagi semua orang. Jalannya paling depan, tak sabaran, sebab kabar viral keindahan Batu Walet membuat gadis periang itu amat penasaran. Tubuh ramping gadis berkaus oranye itu terlihat kontras di antara hijau dedaunan. Wajah ovalnya yang kuning langsat tampak berkeringat, dengan mata bulatnya yang berbinar-binar, begitu memesona meski riasannya sederhana saja. Mahasiswi tingkat akhir itu sangat paham cara merias dirinya, dan sadar betul akan potensi kecantikan, suara, dan pembawaannya. Namanya kerap muncul di ajang pencarian bakat, modeling, photoshot, dan sejenisnya. Di media sosial, sudah puluhan ribu jumlah pengikutnya.

    Usaha Irfan mendekati gadis itu sudah dimulai sejak tadi pagi di titik kumpul. Sayang, pendekatannya di Taman Raflesia tak berjalan mulus seperti yang diharapkan. ‘Gadis idola kawan-kawan semua’ itu tak pernah sendirian, termasuk saat bus yang mengangkut rombongan bergerak menyusuri jalur Ciamis-Cirebon, menuju lokasi kegiatan. Kerumitan semakin bertambah, karena ada fans berat gadis itu, pemuda lincah Rendy Barata, yang selalu lengket dan begitu menyebalkan. Irfan kesal, sebab senyum dan tatapan pemuda itu dirasakannya menyiratkan rasa kasihan dan ejekan di saat yang bersamaan. Hal yang tak bisa disangkalnya, tapi juga tak mungkin diiyakan. Nasibnya memang sedang mengenaskan.

    “Cepat, Kangbro!”

    “Iya, iyaaa.”

    Mereka menunggu di tikungan. Fira dengan cemberut manjanya, Rendy yang tersenyum menyebalkan, dan Mita Maulida yang wajah kalemnya menyembul sebentar di belakang Fira, sebelum membalikkan badan. Gadis kutu buku berkacamata itu lantas tampak bersemangat mengambil alih posisi Fira, berjalan paling depan.

    Semua peserta “Karang Taruna Saba Desa” akhirnya tiba menjelang tengah hari di puncak Batu Walet. Destinasi wisata di Kampung Kondang, Desa Cinyasag, Kecamatan Panawangan, yang keindahannya memang tak mengecewakan. Segala lelah langsung terbayar tuntas saat memandang panorama alam yang terhampar di hadapan. Kudapan dan minuman yang dibekal mulai dihidangkan. Beberapa pegiat alam bebas memasak air untuk membuat kopi panas. Suara tawa mulai berderai-derai dan saat itulah Fira mendekat, lalu duduk di sebelahnya. Hati Irfan bersorak.

    “Kang Irfan teh kenapa, kok pendiam amat sih dari tadi?” Fira menatapnya, tersenyum manis. Pandangan gadis itu lalu beralih mengikuti sebuah mobil yang sedang bergerak hati-hati mengikuti liukan jalan, tampak kecil di kejauhan, di lembah sana.

    “Masak sih? Nggak juga rasanya.”

    “Jangan-jangan belum makan ya? Terus kena salatri syndrome,” tawa gadis itu pecah di ujung kalimatnya, tapi Irfan hanya diam, sebab hatinya sedang bergemuruh. Inilah kesempatan yang sudah direncanakan berhari-hari lamanya.

    “Ada yang mau aku bicarakan, Ra...,” suara Irfan tercekat di tenggorokan, ia terdiam sesaat seperti sedang mengumpulkan kata-kata yang berceceran, "mau nggak kalau ...."

    “Kamu teh sudah sarapan, Fan? Tampak lemah pisan, bro!” Irfan hampir saja bicara, ketika tiba-tiba suara Rendy menggelegar di dekat kupingnya. Astaga, sialan! Irfan menyumpah-nyumpah di dalam hatinya. Bagaimana bisa orang menyebalkan itu selalu datang di saat yang tepat untuk menjegal usahanya? Ini sudah yang ketiga kalinya ia gagal bicara pada Fira.

    Akhirnya, ia setengah hati saja menikmati agenda kegiatan. Untungnya, soal bicara di muka publik ia memang sudah jagonya, bahkan sudah diakui teman-temannya sejak dulu SMA, lalu kini di dunia kerja. Bicaranya lugas, ringan dan mudah dicerna, saat menyampaikan pemikiran tentang perjuangan karang taruna memajukan Tatar Galuh tercinta. Apalagi selain aktif berorganisasi, sesudah lulus kuliah ia bergelut dalam dunia agribisnis sambil mengelola kedai kopi di pusat kota. Kini retorikanya semakin berbobot karena didukung oleh pengalaman kerja dan berwirausaha. Hampir semua peserta memberi aplaus untuknya. Fira memberi pujian sambil berbinar-binar matanya. Rendy, entah tulus atau tidak, juga melempar senyum lebar sambil memberi isyarat jempol padanya.

    Ah, celaka, aku teh bisa bicara tentang perjuangan kaum muda, tapi tak berkutik mengajak Fira bicara. Diam-diam, itulah yang berkecamuk di dalam hatinya. Diliriknya Rendy sialan itu menempel lagi di dekat Fira. Waktu terus berlalu, detik demi detiknya menjadi siksaan baginya yang terus memendam rasa. Makin sadarlah dirinya bahwa di luar kemampuan berorganisasi dan bisnisnya, dalam urusan menghadapi perempuan, ia jauh panggang dari api senyata-nyatanya.

    Puncak bukit Batu Walet mulai sepi, hanya terdengar gemerisik dedaunan terkena hembusan angin sore yang sejuk. Sesekali kicau burung terdengar di kejauhan. Orang-orang sudah mulai turun lagi ke bawah, setelah selesai aksi bersih-bersih sampah. Bungkus plastik dikumpulkan dan dibawa turun. Semua telah sepakat untuk tak meninggalkan secuil pun sampah, demi menjaga kelestarian alam.

    “Kamu suka pemandangannya, Mit?” Fira menoleh pada Mita yang sedang berkemas di sebelahnya.

    “Tempat ini amazing! Konon, di zaman kerajaan dulu, pasukan patroli bisa mengawasi kehadiran musuh dari atas sini, makanya disebut Panyawangan, lalu lama-lama berubah pengucapannya jadi Panawangan,” jawaban Mita seringkali seperti itu, punya referensi, khas kutu buku. Sementara Fira selalu melihat sesuatu dengan riang dan tanpa beban, Mita biasanya akan berkomentar dengan lebih bernas. Irfan menatap gadis berkacamata itu beranjak ikut mengumpulkan sampah.

    “Iya, dari atas sini memang semuanya terlihat lebih jelas ya, gak bisa disembunyikan. Keindahan yang kita rasakan di sini harus disebarluaskan. Sayangnya, ada aja yang biarpun punya perasaan, keukeuh memilih gak punya nyali buat mengungkapkan,” Rendy, si sialan itu, melirik padanya sambil tersenyum dan menyipitkan matanya. Ejekan yang terkandung pada kata-katanya itu hampir membuat Irfan tersedak minuman.


    “Nanti aku posting foto-foto pemandangan yang indah parah ini di instagramku. Pasti banyak yang like!” ucapan Fira jelas menunjukkan dia punya fokus kegembiraan dan dunianya sendiri.

    Irfan menghela napas panjang, saat melihat Fira dan Rendy mulai turun ke bawah. Sialan, si Rendy memang paling pintar ambil kesempatan, keluhnya dalam hati. Mereka sempat berhenti sejenak, menoleh dan memanggilnya, tapi dibalasnya hanya dengan isyarat menyuruh duluan.

    Ia masih ingin menikmati sebentar lagi suasana Batu Walet ini, akunya tadi. Padahal, sebetulnya hanya terduduk lemas sambil menatap mereka semakin menjauh. Gagal sudah ia mengajak Fira bicara, dan entah kapan lagi kesempatan itu akan datang. Ia menghela lagi napas panjangnya, berulang-ulang.

    “Kesabaran itu konon nggak ada batasnya,” tiba-tiba suara itu terdengar dari belakang, mengagetkannya. Saat ia menoleh, Mita sedang tersenyum sambil menjinjing wadah kumpulan sampah di tangan kirinya, lalu menyambung ucapannya, "tapi kalau terlalu lama bersabarnya, nanti nyesel ujungnya."

    “Kamu …, kamu kok masih di sini, Mit?” Irfan merasa wajahnya panas, jantungnya berdegup kencang. Ia merasa seperti isi lamunannya terpergok dan dirampas gadis itu begitu saja.

    “Iya. Mita sengaja pengen ngasih tahu Kang Irfan, soalnya kasihan terus-terusan ngalah sama Kang Rendy. Kang Irfan harus berani dong. Kenapa sih gak berani bicara sama Fira? Apalagi kan Fira juga deket banget sama Akang. Kang Irfan idolanya dia! Heran deh, padahal soal public speaking, Kang Irfan tuh idola kita semua, tapi bicara sama dia kok susah banget?” gadis itu nyerocos sambil duduk di sebelahnya. Semerbak harum tubuhnya tercium lembut, segera menelusup perlahan ke rongga dada Irfan, memberinya semacam ketenangan yang instan. Ketenangan itu lalu menggerakkan tangannya merogoh sesuatu yang ada di dalam tasnya.

    “Soal Fira, sebenarnya …,” Irfan berusaha keras untuk bersuara, tapi masih tertahan juga.

    “Hmmm, ya sudah. Mita turun duluan, ya. Maaf kalau Kang Irfan gak nyaman dengar saran Mita, tapi Kang Irfan harus berani bicara,” gadis itu bangkit dan tersenyum, tapi cepat-cepat menundukkan wajahnya, seperti kebiasaannya, yang sering Irfan perhatikan selama ini.

    “Iya, Mit, Kang Irfan mau bicara.”

    “Naah, begitu dong, pasti bisa,” gadis itu mengakhiri dengan tawa kecil yang jarang terdengar dari mulutnya. Tawa yang lantas berhenti seketika, saat Irfan tiba-tiba bangkit mendekat, sangat dekat di hadapannya.

    “Iya, aku mau bicara langsung saja, Mit. Maksudku, aku akan bicara tanpa harus lewat Fira ….”

    Ketika tangan Irfan mengeluarkan buku berjudul “Kitab Pernyataan Cintaku” dari dalam tasnya, kado yang sudah disiapkannya sejak lama, detik itu juga terasa olehnya timbunan keraguan yang menggunung dan memberati pundaknya menghilang dan terhempas seketika ke lembah di bawah sana. Hembusan lembut angin dan senyum mentari di balik awan, menjaganya tetap berpijak, meskipun hatinya sejak tadi melayang meraih angan di sekumpulan awan.

    Wajah gadis kutu buku itu masih merona, menunduk malu, tapi bibirnya tersenyum dan matanya berkaca-kaca, sambil memeluk buku yang baru diterimanya. Ketika laju waktu melambat di senja itu, kedua bola mata Mita yang bening mengingatkan Irfan pada tetes-tetes embun di ujung daun. Kedamaian yang ada di balik tatapan teduh gadis itu menyatu dengan harmoni Batu Walet yang meluruhkan semua perasaan ragunya. Kini, tak ada lagi yang tak terlihat di Panawangan ini.

    Penulis: @fiksisaja
    Foto: @coast_abung
    Editor: @ciamisnulis

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Sejarah

    Fiksi

    Inspirasi