Pengajian seusai salat magrib di Pesantren Raudhatul Irfan biasanya diisi Tafsir Qur'an. Namun, khusus untuk tadi malam, kami ganti dengan membahas isu kekinian yaitu tentang gelombang demonstrasi yang menyapu berbagai kota di Indonesia dalam sepekan terakhir, dari mulai Jakarta, Makassar, Palembang, Yogyakarta, Bali, Bandung, Tasikmalaya, hingga Ciamis.
Kami membahas hal ini karena ternyata ia bukan sekadar peristiwa politik sesaat. Ia adalah potret “kemarahan kolektif” yang menyala ketika rasa frustrasi publik bertemu dengan simbol ketidakadilan. Civitas pesantren harus memahami apa akar masalahnya supaya tidak salah memberikan solusi.
Artikel ini akan membahas ragam kejadian tersebut dari perspektif psikologi massa Gustave Le Bon, kemudian Philip Zimbardo melalui Teori Deindividuasi, Teori Frustrasi–Agresi, Konsep Deprivasi Relatif, dan tentu kita semua -termasuk para santri- harus mengetahui bagaimana cara meredakan gelombang kemarahan publik tersebut.
Kami mulai dengan pertanyaan, mengapa protes yang awalnya berlangsung damai ini, dengan tuntutan menolak fasilitas baru DPR, kemudian beralih menjadi kerumunan massa yang marah? Halte TransJakarta dibakar, rumah pejabat diserbu, toko dan fasilitas publik dijarah. Korban jiwa pun berjatuhan, termasuk seorang pengemudi ojek yang tewas tertabrak kendaraan aparat.
Presiden kemudian mengumumkan pembatalan sebagian fasilitas DPR, langkah yang dimaksudkan sebagai “rem darurat” untuk menurunkan suhu. Namun, kerusakan sudah terlanjur meluas. Pertanyaannya, mengapa kemarahan bisa menjelma secepat itu, dari protes sah menjadi amukan massa yang tak terkendali?
Psikologi massa memberikan jawabannya. Gustave Le Bon, seorang pemikir klasik, menekankan bahwa dalam kerumunan, individu kehilangan identitas personalnya. Emosi menular cepat, kontrol diri melemah, dan yang sebelumnya tabu dapat menjadi normal.
Fenomena ini kemudian diperdalam oleh Philip Zimbardo melalui Teori Deindividuasi. Dikatakannya, semakin anonim seseorang merasa, maka semakin rendah hambatan moralnya untuk bertindak di luar batas. Inilah yang terjadi ketika massa ribuan orang berkumpul. Rasa “aku” melebur menjadi “kami”. Saat ada satu orang memecahkan kaca toko, yang lain merasa punya “izin psikologis” untuk ikut melakukannya. Norma baru terbentuk dalam hitungan menit.
Namun, kemarahan kolektif tidak lahir di ruang hampa. Teori Frustrasi–Agresi mengajarkan bahwa tindakan agresif sering muncul ketika harapan tidak sejalan dengan kenyataan. Masyarakat yang menghadapi harga kebutuhan pokok melambung, pekerjaan sulit, dan kesenjangan ekonomi yang melebar, lalu menyaksikan elit politik memperdebatkan tunjangan baru, tentu akan merasa dipermalukan.
Konsep lainnya, Deprivasi Relatif, menjelaskan mengapa kemarahan tidak selalu datang dari yang paling miskin, melainkan dari mereka yang merasa ketidakadilan menohok di depan mata. Rumah pejabat, kantor pemerintah, atau fasilitas publik tertentu menjadi sasaran bukan semata-mata karena lokasinya, tetapi karena ia dipandang sebagai simbol ketimpangan.
‘Efek Bola Salju’ dimulai dari ‘Peristiwa Kecil’. Demonstrasi awalnya berjalan damai. Namun, kematian seorang pengemudi ojek daring akibat kendaraan polisi, menjadi flashpoint yang mengubah arah situasi. Dalam psikologi massa, momen semacam ini berfungsi sebagai katalis yang memperdalam dikotomi “kita versus mereka”, menurunkan ambang moral, dan membuka ruang legitimasi bagi tindakan lebih keras.
Di sinilah media sosial memainkan peran ganda. Potongan video, kabar berantai, hingga seruan spontan tersebar tanpa filter. Satu alamat rumah pejabat yang bocor, satu narasi tentang korban yang diviralkan, cukup untuk memicu serbuan massa. Rumor berpadu dengan emosi, menciptakan 'efek bola salju' yang sulit dihentikan.
Kemudian, bagaimana penjarahan bisa masuk dalam pusaran protes? Ada beberapa kunci psikologis. Pertama, persepsi bahwa mengambil barang adalah bentuk “kompensasi moral”—“kita dirampas, maka wajar kita mengambil kembali”. Kedua, ‘rasa aman semu’ saat berada di dalam kerumunan, membuat individu merasa tindakannya tidak akan terlihat. Ketiga, adanya kesempatan: toko yang pintunya terbuka, aparat yang kewalahan, atau suasana kacau yang memberi peluang instan.
Fenomena ini sebenarnya tidak unik Indonesia. Di banyak negara, penjarahan kerap menjadi “bayangan gelap” dari demonstrasi besar. Bedanya, di Indonesia amarah kolektif kali ini berpadu dengan sentimen ketidakadilan sosial-ekonomi yang sudah lama mengendap.
Lalu, bagaimana cara meredakan gelombang kemarahan publik?
Pertama, pemerintah perlu bergerak lebih dari sekadar retorika. Keputusan membatalkan fasilitas DPR adalah langkah simbolis penting, tetapi ia harus diikuti dengan bukti nyata dan transparan. Tanpa implementasi, publik akan menganggapnya sekadar basa-basi. Kedua, kasus-kasus kunci yang memicu amarah harus ditangani terbuka. Kematian pengemudi ojek tidak boleh dibiarkan menjadi rumor abadi. Investigasi cepat, independen, dan komunikatif adalah syarat untuk menutup ruang spekulasi.
Ketiga, pendekatan aparat harus mengedepankan de-eskalasi, bukan semata represi. Kerumunan yang ditekan tanpa jalan keluar justru mudah meledak lebih besar. Dialog dengan tokoh mahasiswa, aktivis, dan ormas menjadi kunci menciptakan “ventilasi” emosi publik. Keempat, informasi harus dikelola. Platform digital tidak boleh membiarkan doxing atau penyebaran alamat pribadi yang bisa memicu serbuan massa. Di sisi lain, kanal klarifikasi cepat dan kredibel perlu dihidupkan.
Akhirnya, dan ini yang paling fundamental, pemerintah harus menyentuh akar persoalan: kesenjangan ekonomi, mahalnya biaya hidup, dan kebijakan yang kerap abai pada suara bawah. Tanpa itu, demonstrasi akan menjadi siklus berulang—hanya menunggu pemicu berikutnya untuk kembali membara.
Kesimpulannya, kemarahan kolektif adalah fenomena psikologis yang berbahaya sekaligus bisa dipahami. Ia adalah cermin dari akumulasi rasa frustasi, ketidakadilan, dan simbol-simbol kekuasaan yang dianggap menjauh dari rakyat. Menyebutnya sekadar “anarkisme” atau “ulah perusuh” tidaklah cukup. Yang dibutuhkan adalah keberanian mengakui, mendengar, dan memperbaiki. Sebab ketika suara rakyat hanya mendapat jawaban represi, jalan amarah akan selalu lebih mudah ditempuh. Tetapi ketika suara itu diberi ruang, dijawab dengan solusi nyata, dan diikat dalam narasi kebersamaan, kemarahan bisa berubah menjadi energi konstruktif.
Pertaruhan sekarang adalah: maukah kita belajar dari amukan massa kali ini, atau membiarkannya menjadi lingkaran setan yang terus mengulang sejarah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar